Mengenal Baiat dalam Islam

Baiat Umum (al-Bai’at al-Ammat)

Telah dikatakan sebelumnya, penetapan khalifah oleh ahlul hall wal ‘aqd atau khalifah sebelumnya harus diikuti dengan baiat umum. Baiat ini disebut umum karena dilakukan oleh segenap kaum muslimin. Disamping baiat umum terdapat pula baiat khusus, yakni baiat yang dilakukan oleh sebagian orang saja. Penetapan khalifah oleh ahlul hall wal ‘aqd atau khalifah sebelumnya bisa dikatakan sebagai baiat khusus.

Istilah baiat secara etimologis berarti jual beli. Istilah ini digunakan dalam khilafah karena baiat terhadap khalifah menyerupai bentuk jual beli. Sebagaimana dijelaskan dalam fiqih, jual beli harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini muncul karena masing-masing pihak bisa mendapatkan manfaat. Manfaat ini tidak lain adalah hak-hak yang bisa diperoleh, yang bagi pihak lain merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Karakter timbal balik positif inilah yang menjadi esensi baiat. Apabila yang terjadi hanya satu arah, maka yang demikian tidak bisa dinamakan sebagai baiat. Karena khilafah dibangun diatas baiat, maka rakyat harus menunaikan kewajibannya pada khalifah dan khalifah pun harus menunaikan kewajibannya pada rakyat.

Kewajiban khalifah pada dasarnya bisa dinyatakan dalam ungkapan singkat “hirasat al-din wa siyasat al-dunya” (menjaga agama dan mengatur dunia). Yang termasuk dalam hirasat al-din adalah menjaga keber-agama-an umat, menegakkan hukum-hukum Allah, melaksanakan dakwah Islam, dan menjaga kehormatan Islam. Yang termasuk dalam siyasat al-dunya adalah segala macam usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai maslahat ‘ammat, seperti menjaga keamanan dan ketertiban, meningkatkan kesejahteraan (ekonomi) rakyat, menegakkan keadilan sosial, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban yang Islami. Dilain pihak, rakyat berkewajiban untuk taat kepada khalifah kecuali dalam rangka bermaksiat kepada Allah.

Ahlul hall wal ‘aqd berhak untuk menurunkan khalifah apabila khalifah tidak lagi memenuhi kriteria-kriteria utama. Sebagaimana dikemukakan didepan, kriteria tersebut ialah al-‘adalat dan al-quwwat. Imam Mawardi mengatakan bahwa hilangnya kriteria al-‘adalat dibedakan atas yang jelas dan yang samar. Yang termasuk dalam kategori yang jelas ialah murtad atau gemar berbuat fasiq, sedangkan yang samar berhubungan dengan takwil atas permasalahan-permasalahan yang syubhat. Apabila seorang khalifah kehilangan al-‘adalat secara jelas, para ulama sepakat bahwa ahlul hall wal ‘aqd berhak menurunkannya. Namun jika hilangnya al-‘adalat itu bersifat samar maka para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya khalifah diturunkan. Mengenai hilangnya kriteria al-quwwat, hal itu amat tergantung pada kondisi yang ada. Apabila hilangnya suatu elemen al-quwwat ternyata akan menghilangkan maslahat dan mendatangkan bahaya yang besar, maka dalam kondisi semacam ini khalifah bisa diturunkan.

Baiat di Zaman Sekarang dan Zaman Yang Akan Datang

Esensi dari baiat, sebagaimana disebutkan didepan, adalah legitimasi (keridhaan) dari rakyat terhadap kepala negara. Rakyat memberikan legitimasi kepada kepala negara atas dasar penilaian mereka atas terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat seorang kepala negara pada diri sang kepala negara. Legitimasi ini absah apabila rakyat yang dimaksud juga memenuhi syarat-syarat sebagai pemilih – sebagaimana telah disebutkan didepan.

Pemilihan Umum Kepala Negara secara langsung pada dasarnya merupakan suatu bentuk baiat umum. Pada mekanisme dimana kepala negara dipilih oleh perwakilan rakyat, yang mana perwakilan rakyat itu dipilih oleh rakyat, maka secara tidak langsung baiat umum pun telah terjadi. Namun jika perwakilan rakyat itu berkhianat terhadap suara rakyat yang diwakilinya, maka baiat umum pun belum ada, karena baiat umum adalah milik rakyat, sementara perwakilan rakyat hanyalah instrumen pembantu.

Apabila kepala negara ditetapkan berdasarkan garis keturunan, atau ditetapkan oleh kepala negara sebelumnya, maka baiat umum merupakan keharusan selanjutnya. Berbagai mekanisme bisa dipakai, asalkan bisa menjamin legitimasi rakyat pada sang kepala negara. Jadi, posisi kepala negara sebelumnya, yang menetapkan kepala negara baru, hanyalah sebagai pihak yang mencalonkan sosok kepala negara baru. Pada akhirnya, posisi rakyat sebagai sumber kedaulatan tetap mengharuskan adanya baiat umum atas kepala negara baru. Andaikan rakyat tidak menghendaki kepala negara baru tersebut, maka kekhalifahan kepala negara baru tersebut batal (tidak sah).

Khalifah Lebih dari Satu ........

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum keberadaan khalifah lebih dari satu dalam satu masa. Sebagian dari mereka melarangnya secara mutlak. Sebagian yang lain melarang keberadaan khalifah dalam satu waktu dan dalam satu wilayah daratan atau dalam wilayah-wilayah yang saling berdekatan, namun mereka memperbolehkan adanya dua khalifah atau lebih dalam satu waktu apabila wilayahnya berjauhan satu sama lain sehingga komunikasi dan koordinasi sulit dilakukan.

Kalau kita cermati berbagai pendapat yang ada, kita akan mendapati bahwa pokok persoalannya adalah komunikasi dan koordinasi. Di era informasi-globalisasi ini, dunia yang begitu luas ini telah menjadi sempit, dalam pengertian bahwa interaksi manusia di seluruh penjuru bumi telah menembus batas-batas geografis. Dengan demikian sekarang ini sudah tidak ada lagi alasan yang membolehkan adanya khalifah lebih dari satu. Maksudnya, tidak boleh ada khalifah lebih dari satu dalam kedudukan yang sama tinggi. Adapun jika lebih dari satu itu dalam kedudukan yang berbeda, maka hal itu tidak menjadi soal, karena pada dasarnya khalifah tertinggi masih tetap satu.

menaraislam.com

0 komentar:

Posting Komentar

Berikanlah komentar Sobat, karena komentar Sobat sangat berarti bagi kami (^_^)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...