Anggota Rohis

Dengan Penuh semangat semoga kita semua dapat menjalankan amanah dan tanggung jawab pada Rohis SMA N 1 Demak dengan sebaik-baiknya,
@ROHIS 2011-2012. :)

Idul Adha

Alhamdulillah 2 kerbau dan 1 kambing berhasil di sembelih dan di bagikan kepada warga oleh Rohis SMA N 1 Demak,
Pada Tanggal 10 Dzulhijjah 1433 H/ 6 Nopember 2011.

Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di selenggarakan di mushola pada tanggal 12 rabiul awal.
Acara ini diikuti oleh anak ROHIS dan sebagian siswa - siswi SMA N 1 Demak. Alhamdulillah berjalan dengan lancar. :)

ROHIS Angkatan 2009-2010

Walaupun badan ini terpisahkan oleh tempat tapi kami tetap akan bersama dalam Perjuangan.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Menikmati Kebersamaan

0 komentar

Apa yang diingat oleh manusia dewasa tentang orang tua mereka, saat kanak-kanak dahulu, yang membahagiakan? Banyak studi menunjukkan, betapa mereka merekam saat-saat kebersamaan sebagai kenangan tak terlupakan, bukan uang atau barang yang pernah mereka terima. Kalaupun nama barang atau uang disebutkan, itu lebih sebagai simbol perhatian, sebagai pelengkap saat-saat kebersamaan yang mereka nikmati.

Kini, kita telah menjadi orang tua, para ayah tepatnya. Dan seharusnya kita mengerti, bahwa kenangan terbaik dari masa kanak-kanak kita, hampir tidak pernah berhubungan dengan uang atau barang. Namun member perhatian dengan kebersamaan menjalani aktivitas bersama orang-orang terkasih. Dan sayangnya, banyak di antara kita yang tidak menyadari pentingnya menyediakan waktu untuk keluarga, kemudian menikmati kebersamaan bersama mereka.

Masyarakat materialis di sekitar kita, membawa pesan belanja yang akut. Menimbulkan kesan bahwa membeli barang adalah simbol kesuksesan hidup. Kemudian, banyak orangtua yang kehilangan rasa percaya diri saat mendapati diri mereka tidak bisa mengikuti pola itu. Merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi permintaan salah satu anggota keluarga tentang barang atau uang. Padahal mereka memiliki hal yang, insyaallah, jauh lebih berharga daripada pemberian barang-barang kepada anak dan istri; yaitu diri dan waktu mereka!

Maka siapkah kita, memberikan perjalanan yang akan selalu dikenang, dari kebersamaan yang kita jalani bersama anggota keluarga? Atau, kita malah tidak bisa menikmati saat-saat seperti itu? Padahal, ialah kunci kenyamanan itu, lebih dari sekedar menghujani anggota keluarga dengan hadiah barang dan uang. Yakinlah, keduanya tidak bisa membeli kebahagiaan, jika tanpa ketulusan, perhatian, dan kebersamaan.

Kebersamaan adalah awal dari sebuah komunikasi yang efektif. Jika ia berjalan dengan kuantitas dan kualitas yang terjaga, komunikasi antar anggota keluarga, insya Allah, akan membaik bersamaan dengan berjalannya waktu. Dengan kebersamaan, kita akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara dan mengenal anggota keluarga yang lain lebih mendalam. Lebih berpeluang untuk berbicara dari hati ke hati, hal yang menjadi esensi hubungan emosional antar sesama aggota keluarga.

Selain itu, perasaan tidak nyaman yang mungkin timbul dalam proses bemuamalah dengan anggota keluarga, menemukan tempat untuk disalurkan. Rasa tidak puas, juga amarah yang tertahan hingga menyesakkan dada, seringkali menjadi penyebab perceraian jika tidak diselesaikan. Dan kebersamaan menjadi alat untuk menguraikannya pelan-pelan. Mengasah kepekaan dan membangun hubungan emosional yang lebih sehat.

Pernahkah kita mendengar tentang pasangan yang akhirnya bercerai, meski mengaku masih saling mencintai dan tidak membenci pasangannya? Mereka hanya tidak terhubung secara emosional. Tidak lagi saling peduli akan kebutuhan ‘rasa’ yang mulai hambar, serta energi untuk bertahan yang mulai melemah dan pudar. Bukankah Jamilah binti Ubay, istri shahabat Tsabit bin Qais, serta shahabiah istri Utsman bin Mazh’un, mengeluhkan suami-suami mereka karena kehilangan kebersamaan, meski atas nama beribadah?

Para pembunuh berdarah dingin, pelaku tindak kriminal, para remaja yang ‘nakal’, hingga orang-orang yang stress dan depresi, banyak kita temukan di sekitar kita. Mereka memiliki ciri yang hampir sama; terisolasi dari lingkungan, merasa kesepian, dan terasing dari orang-orang terdekatnya. Mereka kehilangan hubungan emosional yang dalam dan menyehatkan mental.

Mungkin mereka memiliki rumah yang megah. Mungkin perabotan mewah. Mungkin juga ibu dan ayah. Namun mereka terasing di tengah semua yang ada. Mereka kehilangan meski terlihat memiliki. Dan meski tinggal bersama, mereka, sebenarnya, kesepian dan sendiri.

Kebersamaan yang baik menjadi penawar atas semua masalah itu. Komunikasi yang terjalin, kehangatan yang tercipta, serta kenyamanan yang dirasa, membuat seluruh anggota keluarga menjadi saling menghargai kehadiran, menajamkan kepekaan akan perasaan orang lain, hingga perasaan diterima dan dicintai. Menjaga kadar hormon oksitosin, yang membuat seluruh anggota keluarga merasa ‘terhubung’.

Selain itu, kebersamaan yang positif akan menumbuhkan kerukunan, meski kadang diselingi perbedaan pendapat.  Para anggota keluarga juga akan, insya Allah, mengembangkan jati diri mereka sebagai manusia yang memiliki akar dan tempat di dalam sejarah kehidupan. Tidak tercampakkan dan kehilangan jejak sejarah. Mereka, insyaallah, akan bangga menyebutkan pohon sejarah keluarga mereka yang memang dirawat untuk dibanggakan.

Dan seperti juga pertunjukan penghargaan, kebersamaan akan menimbulkan efek gelombang. Makin   melebar dan meluas pengaruh yang diakibatkannya, jika ia dikerjakan. Bahkan, seringkali ia akan melahirkan kejutan-kejutan manis yang tidak terduga sebelumnya. Secara alamiah, kita akan menemukan harta karun yang bahkan tidak kita cari; hubungan personal yang semakin membaik dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Hal yang bahkan tidak ditemukan oleh banyak keluarga yang mati-matian mencarinya, dalam harta dan gengsi material yang palsu. Sedang kepuasan berkeluarga itu ada disini, di kebersamaan yang dinikmati oleh seluruh anggotanya.

Marilah sebagai para pemimpin keluarga, kita tumbuhkan aktivitas bersama dengan anggota keluarga. Yang fleksibel dan tidak kaku. Yang positif dan sehat. Alih-alih sebuah keistimewaan, ia adalah sebuah kebutuhan, kuantitas maupun kualitasnya. Jadi, menikmati kebersamaan keluarga, siapa yang mau?

arrisalah.net

Pelajaran dari gempa & tsunami Jepang

0 komentar

Tsunami kembali mengamuk, kali ini menerjang negri Sakura. Sebelumnya diawali dengan gempa dahsyat berkekuatan 8,9 skala richter yang menghantam timur laut Jepang. Ribuan orang diberitakan tewas dan menghilang. Ribuan rumah dan bangunan luluh lantak karena dihempas oleh gelombang tsunami tersebut. Mobil-mobil dan kapal-kapal pun ikut hanyut terbawa oleh derasnya air.

Tayangan televisi menunjukkan terjangan bah membawa puing-puing bangunan. NHK (Televisi Jepang) memperlihatkan kobaran api dan asap hitam mengepul di berbagai titik di kota Miyagi. Berbagai Negara juga kena Imbas akibat Tsunami Jepang ini, meskipun tidak berdaya besar, peringatan akan terjadinya gelombang tsunami dikeluarkan beberapa negara seperti Rusia, California AS, Guan, Taiwan Filipina, dan juga Indonesia.

Secara geografis, Jepang merupakan salah satu negri yang rawan terjadi bencana seperti halnya Indonesia, dalam penaganannya pun Jepang bisa diacungi jempol dalam hal ini. Skema pembangunannya sangat bagus untuk penanggulangan bencana. Antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Negri Ninja ini juga satu-satunya Negara di dunia yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar.

Namun perlu diingat bahwa segala macam bencana di dunia ini adalah tak lepas dari kehendak-Nya. Jepang boleh saja mampu membuat bangunan yang memiliki daya tahan gempa misalnya 8,9 skala rickter. Tapi ingat! Allah bisa membuat gempa yang melebihi itu. Begitu pula, jika Allah tak berkehendak, maka bencana takkan terjadi, meskipun wilayah itu kawasan rawan bencana.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah" (QS al-Hadid: 22).

Bencana yang menimpa manusia ini bisa berupa adzab, peringatan, atau berupa ujian dan cobaan dari Rabb semesta alam. Sebagaimana kaum-kaum yang terdahulu, yang telah ditimpakan bencana kepada mereka:

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri “. (QS al-Ankabut: 40).

Sebagaimana diketahui, di Jepang telah terjadi kegersangan spiritual, menurut sumber Wikipedia: Sebagian besar orang Jepang memiliki tradisi multi agama, mayoritas orang Jepang menganut lebih dari satu agama dan sepanjang tahunnya mengikuti ritual dan perayaan dalam berbagai agama. Mayoritas orang Jepang dilahirkan sebagai penganut Shinto, merayakan Shichi-Go-San, hatsumode, dan matsuri di kuil Shinto. Ketika menikah, sebagian di antaranya menikah dalam upacara pernikahan Kristen. Penghormatan terhadap arwah leluhur dinyatakan dalam perayaan Obon, dan ketika meninggal dunia dimakamkan dengan upacara pemakaman agama Budha.

Namun bagi orang-orang yang beriman, musibah atau bencana ini bisa berupa peringatan juga ujian untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan.

Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami sedang menuju kemabali kepada-Nya)". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah: 155 -157).

Abu Hurairah ra berkata: "Ketika turun ayat 'man ya'mal suuan yujza bihi' [siapa yang berbuat kesalahan akan mendapat balasannya] (QS An-Nisa: 123), kaum Muslimin kelihatan dalam keadaan susah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka; 'Bidiklah dan dekat-dekatkan sasaran. Sesungguhnya dalam setiap musibah yang menimpa orang Islam, ada kaffarah sampai pun duri yang mengenainya dan kecelakaan yang menimpanya'. (HR Muslim, at-Turmudzi, dan an-Nasai).

Sungguh, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti ada hikmahnya. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika masyarakat Jepang meninggalkan kebuntuan spiritual dan ideologinya tersebut , dan menuju ke jalan Islam. Satu-satunya jalan yang diridhoi Allah.

Teknologi penangggulangan memang harus digalakkan sebagai bentuk ikhtiar manusia, namun hal itu semoga tidak membuat kita sombong sudah merasa bisa terhindar dari teguran dari Allah berupa bencana. Termasuk di Indonesia yang juga merupakan negri rawan bencana, sudah selayaknya memperhatikan strategi tanggap bencana.

Akan tetapi yang lebih utama, negri ini harus mau diatur dengan Syariah-Nya, karena bumi ini adalah milik-Nya. Peringatan dari Allah yang sering terjadi, sudah seharusnya dapat untuk diambil pelajaran. Wallahu a’lam.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka menolak (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf : 96 – 99)

arrahmah.com

Assange: internet adalah mesin mata-mata terhebat di dunia!

0 komentar

Julian Assange tak menampik berbagai manfaat yang diberikan internet. Namun pendiri situs whistleblower WikiLeaks tersebut juga mewanti-wanti kepada pengguna akan fungsi lain dari internet, yakni sebagai mesin mata-mata terhebat yang pernah ada di bumi.

Demikian dikatakan Assange ketika berbicara di hadapan mahasiswa Universitas Cambridge, Inggris, diberitakan AFP, Rabu (16/3/2011).

Assange yang juga mantan hacker komputer menyatakan bahwa internet, khususnya situs jejaring sosial seperti Facebook, memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk mengintai aktivitas banyak orang. 

"Ada aktivitas pemberontakan yang berkumpul di Facebook sekitar tiga atau empat tahun lalu dan berbasis di Kairo. Gerakan itu masih sangat kecil"

"Setelah itu, mereka semua dikumpulkan dengan memanfaatkan Facebook lalu para partisipan kelompok itu dihajar, diinterogasi, dan dibui," jelasnya.

"Internet juga memiliki beberapa cara yang memungkinkan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, internet juga merupakan mesin mata-mata terhebat yang pernah ada," tambah Assange.

Kejadian ini, lanjut Assange, membuktikan bahwa selain memiliki kemampuan untuk memberi tahu kepada kita apa yang telah dilakukan pemerintah, internet juga menjadi mesin mata-mata terhebat yang pernah ada di dunia.

Bahkan, pria asal Australia berusia 39 tahun itu menyebut jika perkembangan teknologi juga turut berperan dalam menumbuhkembangkan rezim tirani.

"Ini bukan teknologi yang mengakomodir kebebasan berbicara. Ini bukan teknologi yang menghormati hak asasi manusia," kata Assange.

"Sebaliknya, ini adalah teknologi yang bisa digunakan untuk membuat sebuah rezim totaliter mata-mata, orang-orang seperti yang kita tidak pernah melihat," imbuhnya, skeptis.

Meski demikian, Assenge tetap memiliki harapan terhadap internet untuk memberi manfaat positif kepada banyak orang hingga mengubah nasib suatu negara. 

Seperti bocoran kawat diplomatik di WikiLeaks yang dianggapnya telah membantu untuk memicu pemberontakan di negara-negara Arab. Ia juga mengatakan bahwa dilepasnya dokumen resmi diplomatik AS telah mengubah dinamika di Tunisia, yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan rezim.

Assange bersimpati pada Bradley Manning, tentara AS pelaku pembocoran dokumen tersebut yang kini berada di bui.

arrahmah.com

Pemimpin yang Mendengar

0 komentar

Seperti  biasa, Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA menunggang keledainya di tengah kota. Selain untuk bertegur sapa dengan sahabat dan rakyatnya, Khalifah juga memeriksa kondisi rakyatnya, menolong orang-orang yang memerlukan, dan mencegah kezaliman terjadi di negerinya.

Hari itu, seorang nenek tiba-tiba menghentikan keledai yang ditumpangi Umar. Nenek itu langsung menceramahinya. "Hei Umar, aku dulu mengenalmu sewaktu kau dipanggil Umair (Umar kecil), yang suka menakuti-nakuti anak-anak di pasar Ukadz dengan tongkatmu. Maka hari-hari pun berlalu hingga kau disebut Umar, dan kini engkau Amirul Mukminin…''

"Maka bertakwalah engkau kepada Allah atas rakyatmu! Barang siapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, dan barang siapa yang yakin akan al-hisab (hari penghitungan), ia akan menghindari azab (Allah)."

Umar hanya terdiam mendengar perkataan sang nenek tua itu. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya. Sampai-sampai Al-Jarud Al-Abidy yang menemani Umar merasa terganggu dengan sikap nenek tua itu. Al-Jarud berkata, "Hei Nenek, Engkau telah berlebihan atas Amirul Mukminin."

"Biarkanlah ia…" cegah Umar Ra kepada Al-Jarud. "Apa engkau tidak mengenalnya? Dialah Khaulah yang perkataannya didengar oleh Allah dari atas tujuh lapis langit maka Umar lebih berhak untuk mendengarnya, tutur Amirul Mukminin.

Bahkan dalam riwayat lain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ia tidak meninggalkanku sampai malam tiba, aku akan terus mendengarkannya sampai ia menunaikan keinginannya. Kecuali jika datang waktu shalat, aku akan shalat lalu kembali padanya, sampai ia menuntaskan keinginannya."

Umar RA selalu setia mendengarkan keluhan rakyatnya. Amirul Mukminin tak segan-segan untuk memohon maaf jika telah merasa lalai. Ia lalu menuntaskan hajat rakyat yang sudah menjadi kewajibannya. Sebagai Khalifah, ia bahkan pernah memikul sendiri karung gandum dan menyerahkannya pada seorang janda di ujung kota.

Begitulah Umar memberikan keteladanan kepada kita semua. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pendengaran yang peka terhadap keluhan, bahkan kritikan rakyatnya. Ia menyadari betul, kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ia tunaikan kepada para pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.

Khalifah Umar bukanlah tipe pemimpin yang haus sanjungan. Sebab, ia selalu mengingat firman Allah SWT, "Janganlah sekali-kali kamu menyangka, orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 188)

Menjadi Mulia Tak Perlu Menunggu Kaya

0 komentar

Menjadi Kaya
Ini sebuah kisah nyata: ada dua orang wanita yang tinggal serumah. Keduanya selalu menyisihkan sebagian harta yang dititipkan Allah pada mereka dengan cara berinfak. Hal ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Tetapi tunggu, ulama tersebut melanjutkan kisahnya.

Siapakah kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu? Mereka bukanlah anak dan ibu atau kakak beradik. Lalu, siapakah gerangan mereka? Keduanya tak lain adalah seorang majikan dan pembantunya.

Tanpa diketahui oleh masing-masing, sang pembantu selalu menyisihkan rezeki yang diperoleh setiap kali menerima gaji, demikian pula dengan sang majikan. Secara logika kita pastinya berfikir bahwa penghasilan sang majikan lebih besar dari sang pembantu, maka infaknya pun tentu akan lebih besar. Sang pembantu, berapalah ia mampu infakkan, apalagi harus berbagi dengan kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anak-anaknya.

Namun, Allah mempunyai matematika lain. Dengan gaji tak seberapa plus dipotong infak, ia hidup cukup. Anak-anaknya bersekolah sampai jenjang tertinggi.

Tentu saja bagi orang beriman yang mengakui bahwa hanya Allah yang berkuasa memberi rezeki, tak kan pernah heran atau terlontar tanya seperti demikian. Karena sudah jelas tercantum firman-Nya dalam Alquran:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 261).

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka, dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS Al-Hadid: 18)

Demikianlah, Allah telah banyak menunjukkan salah satu contoh kekuasaan-Nya melalui kisah serupa. Sebagai sebuah pelajaran supaya cukuplah Allah tempat kita menyandarkan keyakinan sepenuhnya atas rezeki yang diberikan-Nya. Di samping itu kita tidak perlu merasa khawatir untuk bersedekah atau menginfakkan sebagian rezeki yang Allah titipkan tersebut karena janji Allah pastilah benar adanya. Kita pun tak perlu menunggu menjadi orang kaya untuk berbagi rezeki demi mendapatkan kemuliaan di hadapan-Nya.

“.... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS Al Hujuraat [49]:13).

Memahami Ujian Hidup

0 komentar

Fitrah hidup manusia akan selalu dihiasi kesedihan dan kesenangan. Menyikapi keadaan yang demikian tentunya membutuhkan kecerdasan mental supaya menghasilkan pola sikap dan pola tindak yang berkualitas untuk kebaikan di masa yang akan datang.

Dalam pandangan Islam bencana dan nikmat merupakan ujian hidup yang diberikan Allah Azza wa Jalla sebagai pembelajaran agar manusia selalu mawas diri menjaga predikat mahluk yang diberikan kemuliaan. Ujian hidup pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan nilai-nilai kepantasan diri supaya manusia memiliki pribadi yang paripurna seperti pribadi Rosulullah SAW.

Pencapaian pribadi paripurna hanya dapat diraih melalui proses ujian yang bertahap sesuai dengan kapasitas, dinamis dan berkelanjutan sehingga berakhir pada satu titik yaitu kepantasan diri mendapatkan kebahagiaan hakiki.(bahagia dunia dan akhirat).

Tidak semua manusia bisa menempatkan diri sebagai pribadi yang pantas mendapat kebahagiaan salah satu penyebabnya adalah pola pandang yang salah tentang ujian hidup itu sendiri. Banyak manusia menganggap bahwa ujian hidup hanya dalam bentuk musibah yang buruk-buruk semata padahal nikmat yang baik-baik pun sebenarnya bentuk lain dari ujian hidup.

Dengan persepsi yang keliru mengakibatkan dangkalnya nilai hikmah yang bisa diambil dari setiap ujian hidup yang menimpa akibatnya tidak ada pembelajaran nilai untuk meningkatkan kualiatas iman dan amal. Padahal Allah Azza wa Jalla menghendaki dengan ujian hidup manusia berada pada jalan kebenaran agama, jalan yang diridha-Nya, jalan yang menempatkan manusia pada posisi kemuliaannya. Yaitu manusia yang berguna bagi manusia lain, manusia yang tidak melupakan Tuhannya, manusia yang taat kepada perintah-Nya, manusia yang selalu menjauhi larangan-Nya itulah yang dimaksud dengan jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang diberikan Kebahagiaan hakiki.

"Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran" (QS Al Araaf: 168)

Menggapai Derajat Siddiqin

0 komentar

menggapai derajat siddiqin
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau bersabda. ‘Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)

Sekilas Tentang Hadits.

Hadits ini dengan jalur sanad merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh seluruh A’immah Ashab Kutub Al-Sittah, kecuali imam Nasa’i :

- Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur sanad Jarir bin Mansur, dari Abi Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah SAW, dalam Shahihnya, Kitab Al-Adab, Bab Qoulullah Ta’ala Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah Wakunu Ma’as Shadiqin, hadits no 6094.

- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab, Bab Qabhul Kadzib Wa Husnus Shidq Wa Fadhluh, hadits no 2607.

- Imam Turmudzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr Was Sillah An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fis Sidqi Wal Kadzibi, hadits no. 1971, melalui jalur sanad A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Ibnu Mas’ud.

- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Adab, bab Fi Attasydid Fil Kadzib, hadits no. 4989, melalui jalur sanad Al-A’masy, dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud.

- Imam Ibnu Majah dalam Muqaddimah di Sunannya, Bab Ijtinab Al-Bida’ Wal Jadl, hadits no 46, malalui jalur sanad Abu Ishaq, dari Abu Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud.

- Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya, pada Musnad Al-Muktisirn Minas Shahabah dalam Musnad Ibnu Mas’ud, hadits no 3631, 3719, & 4097.

Gambaran Umum Tentang Hadits

Hadits sederhana ini menggambarkan tentang adanya dua hakekat perberbedaan yang begitu jauh, sejauh perbedaan antara surga dan neraka. Hakekat pertama adalah mengenai assidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan Rasullah saw sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang ke surga. Sementara hakekat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka.

Rasulullah SAW ketika menggambarkan kedua hal di atas, sekaligus mengaitkan juga dengan mashirah (kesudahan) dua sifat yang berbeda tadi, yaitu surga bagi yang shadiq serta neraka bagi yang kadzib. Faedahnya adalau untuk memberikan tadzkir yang medalam, serta tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai masalah yang ringan. Karena secara tabi’at, manusia seringkali menganggap remeh keduanya. Sementara kesudahan dari kedua sifat di atas sangat jauh berbeda, sejauh perbedaan antara surga dan neraka.

Pada kedua sifat yang digambarkan Rasulullah SAW di atas, selalu diikuti dengan perilaku manusia terhadap kedua sifat tersebut, hingga manusia akan menjadi salah satu diantara keduanya; shadiq atau kadzib. Artinya, untuk dikatakan bahwa seseorang itu adalah shadiq misalnya, ia harus membuktikannya dengan perbuatannya sendiri, hingga ia dengan sendirinya akan mendapatkan “gelar” sifat tersebut. Sebaliknya, seseorang yang dikatakan sebagai pendusta, adalah hasil dari perilaku dan perbuatannya, yang akhirnya menjadikannya sebagai pendusta. Dalam kasus pertama, contoh yang paling kongkrit adalah Abu Bakar As-Shidiq. Karena Abu Bakar merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:

قَالَ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ

“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”

Puncaknya adalah pada kejadian isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW. Namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?”. Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakattannya itu benar. Dan aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Assidiq. Gelar Assidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat sidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar, sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa sidiq merupakan sifat yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT.

Pengertian Assidq

Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi makna yang dikandungnya:

الصدق: من صدق – يصدق - صدقا

Lawan kata sidiq adalah kadzib (dusta). Diantara arti sidiq adalah: Benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Penulis melihat bahwa sidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Alah dan Rasulullah SAW yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Contoh kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj, diwaktu tiada orang yang mempercayai Rasulullah SAW. Artinya, sifat shidiq ini lebih dekat pada kebenaran implementasi keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Benarkah imannya, atau dustakah ia? Meskipun tidak salah juga ketika mengartikan shidq dengan kejujuran, sebagaimana lawan katanya yaitu al-kadzib dengan kedustaan.

Para ulama sendiri, ketika diminta komentarnya mengenai makna dari Shidiq, mereka memiliki beragam gambaran, diantaranya adalah sebagai berikut :

• Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
• Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
• Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang membayahakan dirinya.
• Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.

Sidiq Merupakan Hakekat Kebaikan

Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat ini digambarkan dimensi yang dicakupi oleh sidiq yaittu meliputi keiamanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: (QS.9 : 119)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq). ”

Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal bwerikut:

1. Bahwa sidiq itu menuntun seseorang menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya ke surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ… (متفق عليه)

“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’

2. Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib meruapakan sumber dari keburukan:

وإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار… (متفق عليه)

“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.”

3. Sidiq merupakan ketenangan. Hal ini tergambar dari hadits Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (رواه الترمذي)

Dari Abu Haura' As-Sa'dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah SAW? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketengangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)

4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah SAW. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus:

عَنْ أَبِيْ سُفْيَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ هِرْقَلٌ فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانٌ، قُلْتُ يَقُوْلُ اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)

“Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.”

5. Dengan sidiq seseorang akan mendapatkan pahala sesuatu yang dicita-citakannya, meskipun ia belum atau tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi cita-citanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ (رواه مسلم)

“Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.”

6. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengemukakan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مَحَقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (متفق عليه)

“Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.”

Siddiqin dan Saddiqat akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar

Dalam al-Qur’an dengan sangat jelas Allah memuji orang yang sidiq, baik dari kaum mu’minin maupun mu’minah. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surat al-Ahzab (QS. 33: 35) Allah mengatakan:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin

Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: (QS. 4: 69)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Posisi apakah yang paling mulia di akhirat kelak selain posisi para nabi dan syuhada’ serta orang-orang shaleh?. Hal ini menunjukkan betapa sidiq merupakan sifat yang sangat disukai Allah SWT. Jika tidak, tentu Allah tidak akan menjanjikan sesuatu yang sangat tinggi kepada mereka.

Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi

Dalam al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim as. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: (QS. 19: 41)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”

Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris as. Allah juga memujinya dalam al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: (QS. 19: 56)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”

Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf as. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman: Allah berfirman (QS. 12: 51):

قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ اْلأَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ

“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."

Ciri-ciri Orang yang Sidiq

Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:

1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23)

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً

“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”

3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. (QS. 2: 177)

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101)

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”


Cara Mencapai Sifat Sidiq

Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:

1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.

2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.

3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.

4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam:

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”

5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.

6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.

7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.

Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, marilah kita menjaga hati kita dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat sidiq. Untuk kemudian berusaha setahap demi setahap untuk menumbuhkan sifat sidiq, agar kita dapat bersama-sama dengan para nabi, syuhada’ dan shalihin di akhirat kelak. Amiin.

Penyebab Gagalnya Dakwah : Israaf (Berlebihan)

0 komentar

Penyebab Gagalnya Dakwah
Israf mempunyai makna melakukan sesuatu, tetapi tidak dalam rangka ketaatan, atau boros dan melampui batas. (kitab al-Qumus al-Muhiith, 3/15). Tetapi, israaf ialah penyakit rohani berupa perbuatan yang melampui batas kewajaran, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lai sebagainya.

Faktor-Faktor Penyebab Israaf


Pertama, latar belakang keluarga. Sikap israaf dapat timbul akibat pengaruh situasi dan kondisi serta latar belakang keluarga. Seseorang yang dibesarkan disebuah lingkungan keluarga yang diwarnai oleh sikap senang berlaku israaf dn berfoya-foya , maka kmungkinan besar dirinya akan tertulari oleh penyakit itu, kecuali mereka dikasihi oleh-Nya. Seorang penyair melukiskan fenomena tersebut dalam untaian syairnya seperti :
“Seseorang akan tumbuh berkembang, sebagaimana yang dibiasakan oleh orang tuanya”.

Dari keterangan diatas agaknya kita dapat memetik hikmah rahasia ajaran Islam yang meminta kepada para orang tua agar mereka menjadikan tuntutan syariah Allah sebagai rujukan dalam memilih jodoh bagi putra-putrinya :

“Dan kawinkanlah orang-orang sendirian (belum kawin) diantara kamu, dan (kawinkanlah) orang-orang yang shaleh (baik) di antara hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nuur [24] : 32)

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu. Jangahlan kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik perhatian hatimu. Mereka akan mengajakmu ke neraka, sedang Allah mengajakmu ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 221)

Kedua, keluasan rezeki yang diperoleh setelah kesempitan. Sebab lain yan dapat mendorong sikap israaf adalah keluasan atau kemudahan dalam mendapatkan rezeki atau kesenangan hidup yang sebelumnya sangat sulit didapatkan. Di kalangan umat ini kerap terjadi kasus orang-orang yang selagi mereka dicoba oleh Allah dengan kesempaitan rezeki dan aneka kekurangan hidup lainnya, mereka mampu bersikap sabara dan tabah menerima keadaan tersebut.

Mereka masih tetap bertahan memegang kendali prinsip-prinsip Ilahi. Akan tetapi manakala mereka dicoba oleh Allah dengan kelapangan rezeki dan kemudahan mendapatkan kesenangan hidup, justru mereka tidak mampu bersikap tawassuth (pertengahan) dan I’tidal (seimbang) dalam mempergunakan harta dan kenikmatan hidup yang ada pada dirinya untuk menuju keridhaan –Nya. Sebaliknya, sikap hidup mereka berbalik drastis dan berlaku israaf dan tabdziir (menyia-nyiakan harta).

Amr bin Auf r.a. meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, bersabda : “Sebarkanlah berita gembira dan bercita-citalah dengna sesuatu yang membuat kalian senang. Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku kawatirkan atas kalian, tetapi aku kawatir jika dunia telah dihamparkan kepada kalian sebagaimana dihamparkan kepada umat terdahulu, kemudian kalian akan saling berlomba sebagaimana mereka berlomba, sehingga akhirnya, hal iu akan membinasakan kalaian, sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abu Sa’id al Hudri r.a juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalahu Alaihi Wa salam, bersabda : “Sesungguhnya kehidupan dunia itu manis dan menawaan, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian Khalifah diatasnya. Maka takutlah kalian dengan manisnya kehidupan dunia dan waspadalah terhadap wanita , karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Israel adalah wanita.” (HR. Muslim)

Inilah Pandangan Pemikir Muslim Jepang Tentang Islam, Mesir & Barat

0 komentar

Islam bukanlah agama populer di Jepang. Agama ini diperkirakan datang pertama kali pada awal 1900-an, ketika Muslim Tatar melarikan diri dari ekspansi Rusia. Namun komunitas Muslim di Jepang baru terbentuk 100 tahun kemudian, bahkan beberapa sumber lain menyebut lebih lama dari itu.

Kini beberapa sumber, seperti JapanFocus.Org, Mission Islam.com, dan Caesar E Farah, lewat bukunya "Islam: Belief and Observation", diterbitkan oleh Seri Pendidikan Baron (2003),  dan studi Michael Penn (diterbitkan oleh Havard Asia tahun 2008) memperkirakan jumlah populasi Muslim di negeri Sakura itu sekitar 100 ribu orang.

Islam tetap menjadi minoritas di Jepang dan tidak ada bukti kuat apakah Islam berkembang atau tidak. Alih agama lebih banyak terjadi di kalangan wanita muda Jepang lewat perkawinan, sebagaimana terdokumentasi oleh Japan Times, di awal 1990-an.

Namun meski minoritas, bukan berarti tak ada tokoh yang layak diperhitungkan. Salah satu cendekiawan Muslim Jepang dengan pandangan cukup berpengaruh di dunia Islam adalah Kosugi Yasushi. Dalam wawancara dengan ZAKIAH KOYA pekan lalu, ia membagi pandangannya tentang Islam di Jepang, perkembangan timur tengah sekaligus prasangka barat terhadap Islam. Guru besar bidang Studi Asia dan Afrika yang mengambil gelar sarjana di Universitas Al Azhar itu pun menggambarkan Islam sebagai agama disiplin. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana anda mengartikan Islam?


Islam adalah agama religius dan sebuah peradaban sekaligus. Islam itu unik dan memiliki system untuk memandu kehidupan manusia di setiap lini kehidupan. Beberapa agama universal lain membedakan antara agama dan kehidupan sekuler. Namun Islam tidak dan itulah yang membuatnya unik.

Saya memandang peradaban sebagai satu perangkat sistem teknologi—secara garis besar dibagi dua—satu adalah teknologi dalam arti ilmiah. Sementara satu lagi adalah teknologi yang digunakan untuk mengelola kehidupan sosial. Untuk mengatur sebuah masyarakat, kita pasti butuh perangkat teknologi—kita tidak bisa sekedar hidup alamiah begitu saja.

Islam memiliki kedua sistem tersebut, namun jika kita melihat sejarah, Islam menjadi sebuah peradaban yang ilmiah setelah keluar dari semenanjung Arab. Semua peradaban membutuhkan tiga hal landasan yakni pandangan universal, kehidupan manusia dan masyarakat. Semua itu terjadi di Arab, sebenarnya ini adalah agama dalam pandangan barat pula

Kedua, teknologi sebagai pengatur dan pengelola masyarakat, tidak benar-benar berada di semenanjung Arab. Itu terjadi ketika Islam menyebar selama kekalifahan Ottoman. Saat itulah Islam memulai peradaban di Timur, Yunani. Peradaban itu hadir bersama dengan inovasi teknologi dan penemuan ilmiah, semua terakumulasi di sana. Peradaban Islami memiliki kontribusi besar, salah satu contoh di bidang matematika.

AGAMA DAN ORANG JEPANG


Mengapa Islam tak terlalu mendapat perhatian di Jepang, tak seperti di barat?


Saya pikir Islam datang ke Jepang sangat terlambat. Islam bergerak ke timur dari semenanjung Arab selama berabad-abad dan mencapai Filipina selatan, yang dulu menjadi koloni Spanyol. Sementara di Jepang, yang datang pertama kali bukan Islam, melainkan Kristen. Jadi ada jeda waktu cukup besar.

Sangat sedikit Negara yang berjarak dari Islam. AS dan Inggris memiliki kontak dengan dunia Islam—-mereka memang antagonis-—namun mereka memang melakukan banyak persentuhan dengan dunia Islam. Islam datang ke Jepang ketika orang Jepang mulai kurang tertartik dengan agama. Pascaperang, Jepang lebih tertarik terhadap ekonomi, dan saat itu bukanlah waktu untuk tipe tentara religius ala samurai.

Apakah itu karena orang Jepang sangat berakar dengan tradisi sehingga Islam mungkin tidak sejalan?

Tidak, bukan itu. Jepang adalah negara dengan banyak agama. Islam datang ke Jepang di saat perhatian utama orang-orang bukan lagi agama.

Kapan itu saat orang Jepang sangat agamis?

Sekitar 100 tahun lalu, orang Jepang sangat religius—Budha, Konfusius dan Toisme. Kristen juga popular ketika datang namun dilarang karena ajaran agamam menentang sistem feudal. Alasan pelarangan bersifat politis, bukan karena alasan agama. Sepanjang sejarah, orang-orang Jepang bersikap lunak dalam menerima agama baru dari luar.

Islam diterima di Jepang, tidak ada Islamofobia di Jepang, namun penerimaan berjalan sangat lambat karena mereka tertarik pada ekonomi dan globalisasi—kedua hal itu mungkin prioritas mereka saat ini.

Orang Amerika adalah masyarakat religius terlepas kemajuan ekonomi yang mereka peroleh, namun orang Prancis tidak tertarik dengan agama, seperti itu kira-kira.

Masalah lain adalah bahasa, pasalnya Islam tidak dikenalkan (sangat banyak) dalam bahasa Jepang. Kami telah mencoba. Saya bisa katakan Jepang seperti Inggris bertahun-tahun lalu, namun jika anda bandingkan jumlah buku tentang Islam dalam Bahasa Inggris dan dalam Bahasa Jepang, tidak bisa disamakan. Jika saja ada pengenalan lebih kuat di Jepang, mungkin Islam akan mendapat perhatian.

Argumen saya ialah apakah Islam memang benar-benar dikenalkan di Jepang. Islam masihlah agama yang belum diketahui, meski lebih baik ketimbang dekade sebelumnya. Di barat, ini adalah agama yang selip dipahami. Sementara di sini adalah agama yang belum dikenal.

Apakah anda seorang Muslim?

Jangan tanya apakah saya seorang Muslim atau bukan. Saya tidak mengutarakan pendapat saya hanya karena saya seorang Muslim.

PERKEMBANGAN DI TIMUR TENGAH

Berapa lama anda berada di Timur Tengah?

Saya tinggal di Mesir selama delapan tahun pada 1970-an di Kairo, di hari-hari pertama Presiden Mubarak menjabat dan saya sering bepergian ke sana.

Perubahan politik di Mesir,--apakah itu karena kecintaan pada negara yang membuat mereka bergerak saat ini?

Mereka cinta negara baik dengan atau tanpa Mubarak. Bagi Muslim Mesir, cinta terhadap negara, beridentitas Arab dan menjadi Muslim adalah satu. Mereka tidak membedakan ketiganya.

Menurut anda, apa sebutan paling tepat untuk gelombang protes yang terjadi, people power, revolusi?

Gerakan rakyat untuk menghancurkan kediktatoran—ya. Kita harus melihat ke arah mana revolusi bergerak dan dalam maksud apa. Lalu yang terjadi di Mesir? Pada 1980 adalah masa demokratisasi. Sosialisme Arab sangat populer di 1950-an dan 1970-an. Setelah ini mereka memulai demokrasi.

Dengan demokratisasi, kebangkitan Islam mencuat, sehingga negara-negara ini dan barat memiliki masalah. Mereka menyukai demokratisasi namun mereka tiak suka suara mayoritas Islami dalam demokratisasi tadi.

Padahal dalam demokrasi, anda harus bergerak ke arah yang dikehendaki rakyat. Pada 1990, negara-negara ini (di Timur Tengah) dan sekutunya dari barat memutuskan demokratisasi bukan hal penting, sebab itu hanya akan membuat ruang bagi suara Islam. Itulah yang terjadi di negara Palestina. Ketika Hamas memenangkan pemilu, sanksi justru dijatuhkan, ada preseden buruk dalam demokratisasi di sana.

Saya sendiri seorang demokrat--pendukung demokrasi. Demokrasi harus menoleransi semua ideologi kecuali yang ingin menghancurkan demokrasi. Beberapa cendekia di barat akan berargumen bahwa Hamas dapat menghancurkan demokrasi--namun itu tidak benar. Mereka justu memenangkan suara lewat demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang merefleksikan suara rakyat. Jika anda tidak suka suaranya, maka cobalah mengubah suara, bukan sistemnya.

"Jika anda membatalkan demokrasi--yakni pemilu--karena anda tidak suka suaranya, maka sebagai seorang demkrat, anda bermasalah.

Apakah yang terjadi di Mesir adalah demokrasi?

Itu adalah tuntutan rakyat, dimana suara rakyat tercermin di dalamnya. Yang sesungguhnya terjadi, jika rakyat berjuang dalam himpitan ekonomi, dan bila mereka mengatakan ingin kehidupan lebih baik, dan jika penguasa dapat memberikan situasi lebih baik tanpa melalui parlemen, maka itu mungkin berhsil.

Tapi masalahnya orang-orang berpengaruh memiliki telinga, namun kerap kali penguasa tak punya kuping, sehingga rakyat bertanya. Rakyat Mesir ingin suara mereka didengar.

Apakah anda setuju Ikhwanul Muslimin berperan besar dalam gerakan protes ini?


Tidak diragukan Ikhwanul Muslimin memainkan bagian besar. Mereka adalah gerakan non-politik namun menjadi politis. Juga tak diragukan pula peran kaum muda sangat dominan lewat internet dan Facebook, mereka menuntut kediktatoran segera berakhir. Anda lihat, tidak ada kekacauan dalam demonstrasi. Ikhwanul Muslimin tidak menuntut agenda mereka, rakyatlah yang menuntut

Mengapa mereka tidak berada di garis depan?


Mereka (Ikhwanul Muslimin) tahu ketika penguasa diktator pergi, mereka dapat membicarakan agenda mereka kemudian.

Ini bukan kali pertama di Mesir, bahwa rakyat memaksa presiden mereka turun. Mengapa ini menjadi efek domino?

Tunisia yang pertama kali memercikkan gerakan ini.

Apakah anda melihat efek domino di negara-negara Arab?


Saya tidak suka menggunakan kata domino di sini, karena ia memiliki konotasi sejarah tertentu.

Oke, apakah yang terjadi di Mesir akan mengubah negara lain? Bagaimana dengan Libya?

Rakyat frustasi dimana-mana--saya telah mengatakan ini selama 20 tahun--saya telah menyaksikan ini, khususnya di Mesir. Fakta sederhana adalah rakyat tidak melakukan revolusi satu kali setiap tiga dekade. Ketika revolusi Iran terjadi pada 1979, mereka memprediksi itu akan merembet ke Mesir. Saya tidak setuju dan memang tidak terjadi. Mengapa?

Karena Mesir baru saja mengalami revolusi menjadi republik pada 1952. Saat itu terlalu dini. Revolusi (baru terjadi) ketika pertentangan sosial terakumulasi dan kian jenuh sehingga reformasi saja tak cukup mengatasi situasi. Saya tak melihat itu terjadi di setiap negara.

Apakah menurut anda ini adalah awal revolusi?


Bergantung bagaimana anda mengartikan revolusi. Revolusi Mesir pada 1952 dimulai namun justru menciptakan kediktatoran Nasser. Gaya diktator sudah usang. Gaya itu bekerja ketika rakyat dapat memberi aspirasi nasional ke pemimpin dan rakyat tidak keberatan dengan kondisi tanpa kebebasan.

Bagaimana anda memprediksi Mesir ke depan?

Ini pertanyaan sulit. Saya tidak sepakat dengan pendapat bahwa orang-orang yang melakukan demonstrasi berasal dari kalangan miskin. Ada pula golongan menengah dan orang-orang berpendidikan tinggi, bila tidak, tentu anda tak mungkin mengharapkan jaringan Facebook ambil bagian di negara seperti Mesir.

Mereka ikut turun ke jalan karena mereka pun frustasi. Salah satu penyebab keberhasilan gerakan protes ini yakni adanya spektrum luas. Mubarak dan putranya dengan egois telah mengasingkan diri dari elit penguasa lain. Mesir telah menjadi medan bagi setiap kekuatan politik, dunia kini terbuka. Ini adalah saat bagi rakyat Mesir dari berbagai aspirasi politik untuk bergabung.

Anda melihat itu terjadi?

Saya pikir demikian. Bahkan sebelum pemilu, sudah dimulai dalam reformasi konstitusi. Jika anda memiliki kesadaran secara politik, maka anda harus bergabung karena ini adalah masa di mana anda dapat menciptakan tatanan masyarakat baru.

Rakyat Mesir saat ini bertanya 'sekarang apa?'. Seberapa lama mereka dapat bertahan tanpa seorang pemimpin?

Secara umum, masyarakat Mesir lebih homogen ketimbang negara lain, bahasa yang sama, mayoritas Muslim dengan beberapa minoritas. Namun toh mereka masih sangat Mesir, seperti Kristen Koptik. Secara umum, kelompok disintegrasi tidaklah begitu kuat.

Bagaimana dengan Yaman? Skenario serupa terjadi bila presiden juga mundur?

Yaman sangat sulit untuk didefinisikan--sangat terpolarisasi. Namun Mesir memiliki bentuk terpusat selama berabad-abad. Setiap negara memiliki latar berbeda. Gerakan protes masal, saya pikir tidak akan berjalan sama seperti yang terjadi di Mesir. Kita telah melihat itu di Bahrain, Libya dan Yemen, juga kesulitan yang timbul Saya tidak terkejut bila tidak seperti Mesir. Saya yakin ini adalah awal era baru.

PRASANGKA BARAT

Pakar politik mengatakan bahwa gerakan protes damai dari rakyat Mesir, cukup untuk membunuh pandangan bahwa pemuda Arab potensial direkrut oleh al Qaidah, benar demikian?

Mesir tak memiliki banyak kaitan dengan al Qaidah. Barat sepenuhnya salah ketika melabeli Arab potensial menjadi teroris. Terdengar sekali bahwa mereka berprasangka.

Islam diasosiasikan dengan kekerasan akhir-akhir ini. Muslim berkata Islam adalah agama damai, namun demonstrasi damai di Mesir tidak memanifestasikan Islam sebagai agama damai. Islam adalah agama disiplin. Saya dengar dari orang-orang Jepang di sana, bagaimana di hari-hari terakhir demonstrasi, setiap orang termasuk tentara beribadah bersama-sama, tapi sekali lagi itu bukan damai, itu disiplin.

Dalam media barat, Islam dicitrakan menciptakan kekacauan karena tatanan mereka di dunia tidak sejalan dengan kekacauan yang mereka (barat) tata.

Islam adalah sistem, ia memiliki disiplin. Kekacauan terjadi ketika mereka masuk, juga salah satu prasangka.

Mantan Presiden Mubarak berkata "Saya harus mencegah kekacauan." Pemerintah diktatornya adalah tatanannya, di luar itu adalah kekacauan. Itu adalah presepsinya. Seperti Hamas yang menang karena proses demokrasi, itu adalah tatanan atau kekacauan?

Demonstrasi Mesir dilakukan dengan damai dan tatnan berjalan baik, namun kita harus memahami bahwa Al Qaidah tidak memiliki akar dengan yang terjadi di Mesir. Perlu diketahui, tidak pernah pula insiden bom bunuh diri terjdi di Mesir hingga akhir-akhir ini.

Apakah ini karena sikap bias Barat yang memandang skeptis terhadap gerakan protes yang damai?

Pada akhir abad ke-20, barat memang sangat bias. Jangan panggil seseorang dengan nama lain hanya karena anda tidak suka, itu hanya akan membuat kita tak pernah memahami satu sama lain. Barat memanggil Islam, Muhammdisme. Ini benar-benar prasangka buruk.

Gunakan standar kesopanan dasar, panggil berdasar nama aslinya. Sebagai contoh bom bunuh diri, itu adalah nama yang diberikan oleh barat. Mereka (Arab-red) tidak menyebutnya bunuh diri.

Bahkan beberapa cendekiawan tidak suka menyebut (apa yang terjadi di Iran) Revolusi Islam. Kita dapat berdebat apakah itu memang Islami atau bukan namun itulah nama yang diberikan mereka (barat) kepada revolusi di sana. Jangan campuradukkan dengan nama pribadi mereka.

Lalu, bagaimana anda menyebut mereka yang memang menciptakan masalah?

Beberapa dari mereka adalah teroris. Beberapa dari mereka tidak. Masalahnya bila anda memanggil Hamas adalah teroris, maka anda dalam masalah, karena Hamas memiliki nama. Mereka adalah operasi militer. Mereka juga diakui rakyat Palestina dalam sistem demokrasi yang sah. Mereka menganggap Israel adalah zona perang dan bagi mereka itu adalah pertempuran. Jika anda panggil Hamas teroris dan Israel adalah tentara, maka anda telah berpihak pada satu sisi.

Murtad Tanpa Sadar

0 komentar

awas terjebak murtad
Ada sebuah buku berjudul asli Al-Iman wa Nawaqidhuhu & At-Tibyan Syarhu Nawaqidhil Iman. Buku ini ditulis oleh duet Dr Safar Hawali & Syaikh Sulaiman Nashir Ulwan. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Etoz Publishing. Yang menariknya, penerbit menerjemahkan judul buku tersebut dengan atraktif sekaligus menghentak sanubari. Judul bahasa Indonesianya ialah Murtad Tanpa Sadar Kok Bisa?

Benar saudaraku. Ternyata di dalam hidup ini ada perkara-perkara yang jika dilakukan, bahkan sekedar diucapkan, dapat menjerumuskan seorang muslim ke dalam sebuah keadaan murtad tanpa sadar. Artinya, ia tidak sekedar terlibat dalam sembarang dosa. Tapi ia terlibat ke dalam urusan yang dapat menyebabkan batalnya keimanan serta keislamannya. Hal ini menjadi lebih serius jika kita kaitkan dengan kondisi zaman modern yang sangat sarat dengan fitnah (ujian) terhadap iman seorang muslim. Sehingga kita jadi teringat sebuah hadits di mana Rasulullah Muhammad صلى الله عليه و سلم bersabda:

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia." (HR. Ahmad, No. 8493)

Sungguh penulis khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini persis sebagaimana Nabi صلى الله عليه و سلم gambarkan di dalam hadits di atas. Laksana malam yang gelap gulita. Fitnah (ujian) telah meliputi segenap aspek kehidupan modern. Dan derajat fitnah tersebut sedemikian rupa sehingga potensial menyebabkan seorang muslim sulit memelihara ke-istiqomahannya. Pagi masih dinilai Allah سبحانه و تعالى beriman, namun sore harinya telah menjadi kafir. Bayangkan...! Nabi صلى الله عليه و سلم di dalam hadits di atas tidak menggambarkan kondisi gelap gulita tersebut berakibat sekedar “di waktu pagi berbuat kebaikan dan di waktu sore berbuat kejahatan”. Sebab jika demikian penggambarannya, masih lebih ringan. Sebab betapapun seseorang melakukan kejahatan, ia masih mungkin dipandang tetap memiliki iman. Sedangkan Nabi صلى الله عليه و سلم jelas-jelas menggambarkan bahwa kegelapan akibat rangkaian fitnah tersebut berakibat “seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan paginya menjadi kafir”. Wa na’udzu billahi min dzaalika...!

Mari kita lihat contohnya. Sebut saja Pembatal Keislaman nomor empat dan nomor sembilan. Pembatal Keislaman nomor empat di dalam buku MTS (Murtad Tanpa Sadar) ialah “Meyakini Bahwa Selain Petunjuk Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم Lebih Sempurna Daripada Petunjuknya”. Sedangkan Pembatal Keislaman nomor sembilan ialah “Meyakini Bahwa Manusia Boleh Keluar Dan Tidak Mengikuti Syariat Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم ”.

Sungguh, tidak sedikit muslim di era modern ini yang terjatuh kepada dua perkara di atas. Mereka masih menaruh harapan kepada petunjuk, panduan, isme, ideologi, bimbingan hidup, sistem hidup atau falsafah hidup selain yang bersumber dari Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم . Lalu mereka memperlakukan berbagai petunjuk tersebut seolah setara bahkan lebih baik dan lebih sempurna daripada ajaran Al-Islam. Mereka meragukan Al-Islam sebagai pemersatu keanekaragaman ummat manusia lalu meyakini ada selain Al-Islam yang dapat memainkan peranan pemersatu tersebut. Seolah mereka mengabaikan kesempurnaan ajaran atau syariat Allah سبحانه و تعالى. Lalu menaruh kepercayaan akan kesempurnaan ajaran atau isme lainnya. Padahal di dalam Al-Qur’an dia membaca ayat Allah سبحانه و تعالى yang berbunyi:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5] : 3)

Salah satu faham modern yang dewasa ini secara gencar dikampanyekan oleh masyarakat Barat (baca: kaum Yahudi dan Nasrani) ialah Pluralisme. Sebagian besar penghuni planet bumi dewasa ini telah terpengaruh dan percaya kepada faham tersebut. Mereka memandangnya sebagai sebuah faham yang baik dan positif. Bahkan faham ini telah dipandang sebagai indikator kemajuan atau kemodernan seseorang atau bahkan suatu bangsa. Memang, pada tahap awal, Pluralisme mengajarkan suatu hal yang baik yaitu keharusan setiap orang agar menghormati orang lain apapun latar belakang agama dan keyakinannya. Sampai di sini kita tidak punya masalah dengan ajaran ini. Bahkan Islam-pun menganjurkan kita untuk berlaku demikian. Tetapi persoalannya, Pluralisme tidak menerima jika seseorang hanya sebatas memiliki sikap seperti itu. Ia menuntut setiap orang agar mengembangkan “sikap modern” sedemikian rupa sehingga tanpa ragu dan bimbang rela berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar.” Nah, jika seorang muslim sampai rela mengeluarkan kata-kata seperti itu, barulah ia benar-benar diakui sebagai seorang penganut Pluralisme. Barulah ia akan diberi label “muslim modern” dan “muslim moderat” oleh masyarakat dunia, khususnya masyarakat barat.

Apa masalahnya bila seorang muslim berkata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”? Saudaraku, ungkapan seperti itu menunjukkan bahwa yang mengucapkannya tidak setuju dengan beberapa ayat di dalam Kitabullah Al-Qur’anul Karim. Padahal ketidaksetujuan seseorang akan isi Al-Qur’an menunjukkan bahwa dirinya meragukan kebenaran fihak yang telah mewahyukannya, yaitu Allah سبحانه و تعالى . Padahal tidak ada satupun firman Allah سبحانه و تعالى yang mengandung kebatilan. Subhaanallah...! Seluruh isi Al-Qur’an sepatutunya diterima oleh setiap orang yang mengaku muslim sebagai kebenaran mutlak, karena ia merupakan Kalamullah (ucapan-ucapan Allah سبحانه و تعالى). Sehingga setiap malam saat sholat tahajjud Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم selalu membaca doa yang sebagian isinya berbunyi:

“...(Ya Allah) Engkaulah Al Haq (Yang Maha Benar), dan janji-Mu haq (benar adanya), dan perjumpaan dengan-Mu adalah benar dan firman-Mu benar...” (HR. Bukhari, No 1053)

Maka seorang muslim yang termakan oleh faham Pluralisme sehingga melontarkan kalimat-kalimat batil seperti di atas sungguh potensial terjangkiti virus MTS. Sebab ia sekurang-kurangnya telah menolak tiga ayat Al-Qur’an. Ia telah memandang dirinya lebih cerdas daripada Allah سبحانه و تعالى Yang Maha Tahu dan Maha Benar pengetahuannya. Ketiga ayat tersebut ialah:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)

“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS. Al-Hijr [15] : 2)

Bagaimana mungkin seorang muslim yang pernah membaca ketiga ayat di atas, sambil mengaku beriman akan Al-Qur’an sebagai kumpulan firman Allah سبحانه و تعالى Yang Maha Tahu dan Maha Benar pengetahuannya, lalu akan dengan ringannya tega melontarkan kata-kata: “Semua agama baik. Semua agama sama. Semua agama benar”?

Coba perhatikan cuplikan diskusi yang sering terjadi di sekitar kita. Ada beberapa orang sedang mendiskusikan soal perselisihan antar dua kelompok berbeda agama yang terjadi di tengah masyarakat. Yang satu kelompok kaum muslimin, sedangkan yang satu lagi kelompok kaum non-muslim. Lalu masing-masing fihak mempertahankan argumennya masing-masing. Akhirnya suasana diskusi menjadi panas dan hampir tidak terkendali. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka melontarkan sebuah upaya menenteramkan situasi dengan melontarkan kata-kata: “Sudahlah tenman-teman. Marilah kita ingat selalu bahwa kita ini kan satu bangsa. Agama boleh berbeda. Tapi kita kan tetap satu bangsa. Toh, setiap agama kan maksudnya baik. Tujuannya mulia. Dan semuanya kan menuju tujuan yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa sih kita tidak bisa saling memahami dan bersikap toleran?”

Bukankah contoh kasus di atas merupakan suasana yang sangat sering kita temui di dalam kehidupan sehari-hari kita? Dan diskusi hangat dengan akhir seperti itu kian hari kian mudah kita temui belakangan ini. Kasus dan pelaku perselisihan boleh berbeda, tapi ujung akhir penyelesaiannya kurang lebih sama. Yaitu mengakui bahwa setiap agama punya maksud yang sama dan baik. Benarkah demikian? Kalaulah semua agama punya maksud dan tujuan yang sama dan baik, lalu mengapa kita harus memilih Al-Islam? Mengapa kita tidak pilih yang lainnya saja? Bukankah Islam secara praktek lebih rumit dan menuntut pengorbanan dibandingkan yang lainnya? Islam mewajibkan setiap muslim sholat beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى sekurangnya lima kali sehari-semalam. Islam mewajibkan setiap satu tahun sekali selama sebulan penuh muslim menahan rasa lapar, dahaga dan berhubungan suami-istri di siang hari. Mengapa tidak kita pilih agama lainnya yang lebih sederhana dan ringan? Artinya, pandangan yang mengatakan bahwa semua agama bermaksud “sama dan baik” mengingkari statement Allah سبحانه و تعالى yang berfirman:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85)

Realitasnya dewasa ini sangat mudah kita jumpai di sekeliling kita kaum muslimin yang melontarkan kata-kata batil seperti di atas. Astaghfirullahal ‘azhiem. Allahummagh fir lil muslimin wal muslimat. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kaum Muslimin dan Muslimat. Laa haula wa laa quwwata illa billah...!

Ya Allah, lindungilah kami dari virus penyakit murtad tanpa sadar di era modern penuh fitnah ini. Amiin. Amiin ya Rabbal ‘aalamiin.

“Ya Allah aku berlindung kpdMu dari cobaan yang memayahkan, kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk dan cacian musuh.” (HR. Bukhari, No. 5871)

http://www.eramuslim.com/

Mawaddah "Unlimit Love"

0 komentar

mawaddah
Kecintaan seorang suami kepada istrinya yang tetap setia bertahun-tahun hidup bersama, tanpa melihat fisik apakah al hubb atau mawaddah?

Kecintaan Rasulullah saw ketika mendakwahi umatnya yang susah diajak berpikir apakah al hubb atau mawaddah? Awalnya, saya fikir maknanya sama saja yaitu cinta, diantara dua kata yang berasal dari bahasa ‘arab tadi.

Ternyata salah, itulah kedalaman bahasa ‘arab memiliki makna luas dan bermakna. Al hubb dan mawaddah ternyata sangat jauh berbeda.

Al hubb adalah cinta yang memiliki batas waktu untuk mencintai sesuatu, apakah itu cinta kepada manusia atau benda. Dan mudah berpindah jika menemukan yang lebih besar manfaatnya bagi dia.

Al hubb bisa kita lihat faktanya saat ini, mencintai tanpa ada rasa tanggung jawab dan kotmitmen terhadap yang ia cintai.

Perceraian marak sekali terjadi, durhaka anak kepada ibunya, putusnya tali silahturahmi antara keluarga, saling bermusuhan antara tetangga satu dengan yang lain dll. Karena standarnya adalah cinta atas dasar maslahat sehingga berdampak akan mudah sekali hilang cintanya jika dia tidak menemukan mashlahat terhadap yang ia cintai.

Mawaddah adalah cinta yang unlimit atau tidak terbatas sampai kapanpun. Inilah kecintaan yang dimiliki oleh seorang ibu terhadap anaknya.

Cintanya seorang ibu akan hidup sampai kapanpun tidak terbatas tempat, waktu, dan usia anak.

Begitu juga cintanya sepasang suami istri yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun namun masih tetap cinta, masih tetap sayang, masih tetap akan merasa bahagia jika bersama, ada kerinduan yang besar ketika tidak bertemu walaupun usia sudah tua tapi rasa cinta seperti itu masih ada, walaupun dari fisik pasangannya mungkin sudah tidak enak dilihat lagi .

Pernah melihat? kakek nenek yang datang kepengajian, mereka sambil berpegangan tangan dan terlihat sangat bahagia padahal usia mereka sudah sangat tua dan mereka sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya tapi seakan-akan mereka baru menikah kemarin-kemarin. Itulah cinta yang tidak ada batasnya.

Menarik kisah pada genarasi sahabat, kisah ini terjadi pada saat pemerintahan ‘Umar Amirul mukminin r.a. ada seorang arab badui yang akan mengadukan istrinya kepada ‘Umar karena istrinya telah mengeluarkan suara keras melebihi suaranya.

Iapun kemudian pergi ke rumah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khatab r.a. dan ketika dia sampai di depan pintu rumah Amirul Mukminin dia mendengar langkah kaki ‘Umar yang hendak keluar dari rumahnya. Dia mendengar istri Amirul Mukminin berkata kepadanya dengan suara yang keras mengatakan: “bertaqwalah kepada Allah, wahai ‘Umar atas apa yang engkau pimpin!”

‘Umar hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun, orang badui tersebut berbicara dalam hatinya seraya berpaling pergi: “Jika keadaan Amirul Mukminin saja seperti ini, maka bagaimana dengan diriku?” Ketika ia hendak berpaling pergi, ternyata ‘Umar bin khatab telah keluar dan melihatnya. ‘Umar bertanya apa keperluanmu?, wahai saudaraku orang Arab?”

Orang arab badui itupun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin sebenarnya aku ingin menemuimu untuk mengadukan sikap istriku. Dia telah berani bersuara keras terhadap diriku. Namun seketika aku melihat keadaan rumahmu, aku menjadi merasa kerdil, karena apa yang engkau hadapi lebih sulit daripada apa yang aku hadapi. Oleh karena itu, aku hendak pulang dan berkata pada diriku sendiri: “Jika Amirul Mukminin saja mendapat perlakuan seperti itu dari istrinya, maka bagaimana dengan diriku?”

‘Umar pun terseyum dan berkata: “Wahai saudaraku semuslim, aku menahan diri dari sikapnya (istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa saja menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya. Akan tetapi, aku sadar bahwa tidak ada yang dapat memuliakan wanita selain orang yang mulia dan tidak ada orang yang merendahkan selain orang yang suka menyakiti. Mereka dapat mengalahkan setiap orang yang mulia namun mereka dapat dikalahkan oleh setiap orang yang suka menyakiti. Akan tetapi, aku angat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari istriku), dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku termasuk orang yang menang.”

‘Umar melanjutkan : “Wahai saudaraku orang Arab, aku berusaha menahan diri karena dia istriku memiliki hak-hak atas diriku. Dialah yang memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, menyusui anak-anakku, dan mencuci baju-bajuku. Sebesar apa kesabaranku terhadap sikapnya, maka sebanyak itulah pahala yang aku terima.”
Saya membaca kisah yang penuh makna ini berkali-kalipun sangat terasa indah dan sejuk (halah..), bagaimana tidak?

Saya tidak tepikirkan, bagaimana perhatian negara Islam yang begitu besar untuk mengurusi umatnya termasuk masalah rumah tangga, luar biasa. Disisi lain, sikap seorang pemimpin besar semisal ‘Umar yang kalau kita ketahui sifat ‘Umar adalah keras dan kasar, tapi bisa menahan diri dari bersikap kasar dan lebih memilih bersikap lembut kepada istrinya yang beliau cintai. Itulah cinta mawaddah ‘Umar kepada istrinya.

Kalau saya melihat sekarang, seperti pekejaan rumah tangga pastinya istri manapun ada saatnya untuk berkeluh kesah, setiap hari kerjaan utamanya adalah masak, mengusrus anak, cuci baju suami dan anak-anaknya, beres-beres rumah, mendidik anak, memantau anak, ini itu setiap hari dan memang seperti itu kerjaan utama seorang istri.

Kalau ukurannya hanya sekedar cinta (al hubb) saya yakin istri tersebut akan setiap hari ngomel kepada suaminya untuk minta pembantu, atau mungkin bisa kabur (terlalu mendramatisir..) ,tapi isrti yang cinta kepada keluarga atas landasan iman dan kecintaannya adalah mawaddah semuanya akan ditangkis dengan kalimat, “Itulah jihad saya dan Allah ‘azza wa jalla akan memberikan surga kepada seorang istri yang baik dalam pengurusan rumah tangganya”

Saya jadi teringat kisah fathimah binti muhammad r.a. yang mengadu kepada ayahnya sebagai pemimpin negara islam agar diberikan seorang pembantu untuk membantu pekerjaan rumah tangganya, kemudian salah satu nasehat yang Rasulullah saw berikan kepada fathimah adalah :

Nabi berkata kepada puterinya, Fathimah:

“Kalau Allah menghendaki wahai Fathimah, tentu lumpang itu akan menggilingkan gandum untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki agar ditulis beberapa kebaikan untukmu, menghapuskan keburukan-keburukan serta hendak mengangkat derajatmu
wahai Fathimah, barangsiapa perempuan yang menumbukkan (gandum) untuk suami dan anak-anaknya, pasti Allah akan menuliskan untuknya setiap satu biji, satu kebaikan serta menghapuskan darinya setiap satu biji satu keburukan. Dan bahkan Allah akan mengangkat derajatnya.

Wahai Fathimah, barang siapa perempuan berkeringat manakala menumbuk (gandum) untuk suamiya. Tentu Allah akan menjadikan antara dia dan neraka tujuh khonadiq (lubang yang panjang).

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan mau meminyaki kemudian menyisir anak-anaknya serta memandikan mereka, maka Allah akan menuliskan pahala untuknya dari memberi makan seribu orang lapar dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang.

Wahai Fathimah, bilamana seorang perempuan menghalangi (tidak mau membantu) hajat tetangganya, maka Allah akan menghalanginya minum dari telaga “Kautsar” kelak di hari Kiamat.

Wahai Fathimah, lebih utama dari itu adalah kerelaan suami terhadap istrinya. Kalau saja suamimu tidak rela terhadap engkau, maka aku tidak mau berdo’a untukmu. Apakah engkau belum mengerti wahai Fathimah, sesungguhnya kerelaan suami adalah perlambang kerelaan Allah sedang kemarahannya pertanda kemurkaan-Nya.

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan mengandung janin dalam perutnya, maka sesungguhnya malaikat-malaikat telah memohonkan ampun untuknya, dan Allah menuliskan untuknya setiap hari seribu kebaikan serta menghapuskan darinya seribu keburukan. Manakala dia menyambutnya dengan senyum, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala para pejuang. Dan ketika dia telah melahirkan kandungannya, maka berarti dia ke luar dari dosanya bagaikan di hari dia lahir dari perut ibunya.

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan berbakti kepada suaminya dengan niat yang tulus murni, maka dia telah keluar dari dosa-dosanya bagaikan di hari ketika dia lahir dari perut ibunya, tidak akan keluar dari dunia dengan membawa dosa, serta dia dapati kuburnya sebagai taman diantara taman-taman surga. Bahkan dia hendak diberi pahala seribu orang haji dan seribu orang umrah dan seribu malaikat memohonkan ampun untuknya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa orang perempuan berbakti kepada suaminya sehari semalam dengan hati lega dan penuh ikhlas serta niat lurus, pasti Allah akan mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan kepadanya pakaian hijau (dari surga) kelak di hari Kiamat, serta menuliskan untuknya setiap sehelai rambut pada badannya seribu kebaikan, dan Allah akan memberinya (pahala) seratus haji dan umrah.
Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan bermuka manis di depan suaminya, tentu Allah akan memandanginya dengan pandangan’rahmat’.

Wahai Fathimah, bilamana seorang perempuan menyelimuti suaminya dengan hati yang lega, maka ada Pemanggil dari langit memanggilnya”mohonlah agar diterima amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu maupun yang belum lewat”.

Wahai Fathimah, setiap perempuan yang mau meminyaki rambut dan jenggot suaminya, mencukur kumis dan memotongi kukunya, maka Allah akan meminuminya dari ‘rahiqil makhtum dan sungai surga, memudahkannya ketika mengalami sakaratil maut, juga dia hendak mendapati kuburnya bagaikan taman dari pertamanan surga, serta Allah menulisnya bebas dari neraka serta lulus melewati shirat”.

Semoga kecintaan kita selalu dilandasi keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla.[]
Wallahua’lam bi ash shawab

Riya yang Menghancurkan

0 komentar

Hidup di zaman modern yang disesaki berbagai piranti canggih, betapa susahnya mengontrol diri untuk tidak riya’. Bukan berarti hidup di zaman dahulu, di mana berbagai piranti itu belum ada, keinginan untuk berbuat riya’  mudah dikontrol. Tidak. Riya’  adalah sebentuk keinginan negatif yang diletikkan oleh setan semenjak dahulu hingga sekarang ke dalam hati manusia untuk menggelincirkan mereka dari jalan Allah ta’ala. Keinginan itu sejatinya telah ada semenjak dahulu. Hanya saja keinginan itu kini tampaknya datang lebih kuat dan intens.

Karena itu, betapa gampangnya sekarang didapatkan seseorang berbuat suatu amal kebajikan -sebut saja sebagai misal: bakti sosial membantu sesama yang tengah ditimpa bencana- yang beritanya cepat tersebar ke mana-mana. Tidak hanya tersebar di lokasi di mana kejadian itu berlangsung saja, namun juga tersebar ke berbagai sudut dunia yang jauh. la bisa tersebar dengan demikian cepat melalui radio, televisi, internet, koran, dan media lain yang masih banyak lagi. Piranti-piranti canggih itu memungkinkan seolah tidak ada sejengkal pun tempat di dunia ini yang bisa luput dari jangkauan berita yang disebarkannya secara massive dan bertubi.

Modernitas memang acap menimbulkan dilema. Acap pula menjadi pisau bermata dua. Sisi positif dan negatifnya -dalam konteks ini keinginan antara berbuat riya’  atau tidak- bertarung untuk saling mendominasi di dalam hati. Yang lantas menjadi

Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana memenangkan dominasi keinginan untuk tidak berbuat riya’  itu? Langkah apa saja yang bisa ditempuh?

Mencari Kedudukan

Riya’ , merujuk pada keterangan DR. Ahmad Farid dalam Al-Bahrur Raiq fiz Zuhdi war Raqaiq berasal dari kata ru’yah (melihat). Riya’ ’ diartikan dengan, mencari kedudukan di hari orang lain dengan memperlihatkan amalan dan perilaku yang baik. Kedudukan itu bisa berbentuk pujian, sanjungan, penghormatan dan citra baik bagi si pelaku amal.

Biasanya, motif yang melatarbelakangi perbuatan riya’  itu ada tiga. Pertama, motif untuk mengukuhkan kemaksiatan. Seperti orang yang menampak-nampakkan ibadah, taqwa dan wara’ nya agar ia dikenal sebagai seorang yang baik dan amanah. Itu ia lakukan supaya orang-orang mau mempercayakan pengurusan masalah harta kepadanya. Setelah, ia pun lalu melakukan tindak kejahatan terhadap harta benda tersebut. Di sini, ia melakukan riya’nya itu dengan maksud untuk memuluskan kemaksiatan yang lain, semisal korupsi atau mencuri.

Kedua, ingin memperoleh keuntungan duniawi. Seperti misalnya orang yang menampak-nampakkan ilmu dan ibadahnya agar ada orang yang mau memberikan imbalan materi kepadanya. Riya’ itu ia lakukan tidak lain agar la mendapatkan keuntungan materi. Riya’ nya adalah tunggangan baginya untuk mengelabui orang lain demi untuk mendapatkan sesuatu dari mereka. Jenis riya’  ini sangat berbahaya lantaran adalanya motif tidak benar dari si pelaku untuk memperoleh sesuatu dengan menampak-nampakkan ketaatannya kepada Allah ta’ala.

Dan motif ketiga, riya’  karena tidak ingin direndahkan orang lain. Seperti seseorang yang menampak-nampakkan ketekunannya beribadah kepada orang lain agar mereka tidak memandangnya secara rendah sebagai orang awam kebanyakan yang tidak mempunyai prestasi apa-apa. Tapi agar ia bisa dipandang sebagai seorang ahli ibadah yang banyak bertaqarrub kepada Allah ta’ala.

Berbuat riya’, apapun jenis motif yang ada di belakangnya, akan merusak agama seseorang. ltu karena riya’  dapat  menghancurkan pahala pahala amal ibadah. Seseorang yang beribadah, yang motif dalam melakukannya adalah riya’, kelak tidak akan mendapatkan nilai guna apapun dari ibadahnya tersebut. Allah memberitahukan,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir “ (QS. Al Baqarah: 264).

Di dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim disebutkan, bahwa kelak di hari kiamat Allah akan mula-mula mengadili tiga kelompok orang yang dijanjikan akan memperoleh pahala besar. Mereka itu adalah orang-orang yang ingin mati syahid, para ahli al-Qur’an dan ahli sedekah. Terhadap orang yang mati syahid, Allah mengingatkan perihal nikmat-nikmat yang dianugerahkan kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kau lakukan dengan nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu hingga mati syahid.”

Allah menyanggahnya, “Engkau berdusta! Sebaliknya engkau berperang agar orang-orang menyebutmu pemberani! Dan itu sudah dikatakan oleh mereka!” Allah lalu memerintahkan agar orang tersebut diseret di atas mukanya kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Di kelanjutan hadits disebutkan bahwa kejadian yang serupa juga menimpa kelompok manusia yang kedua dan ketiga. Naudzubillah!

Bahkan dalam sebuah hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga memberitahukan sangsi memalukan yang akan didapatkan oleh orang yang berbuat riya’ . Beliau bersabda,

“Orang yang berbuat sumah (ingin didengan orang lain), maka Allah akan memperdengarkannya. dan siapa yang berbut riya, Allah akan memperlihatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Memupuk Keikhlasan

Benar bahwa riya’  adalah gangguan hati yang sangat kuat dan berbahaya. Tapi sesungguhnya gangguannya itu bisa dipunahkan, seperti disebutkan oleh Faishal Ali al-Ba’dani dalam Qaidatul lnthilaq wa Qaribura Najat, tidak lain adalah keikhlasan. Bila riya’  telah mendominasi hati seseorang ketika melakukan suatu amal kebajikan, maka untuk memunahkannya adalah memeranginya dengan cara mengikhlaskan amal kebajikan tersebut hanya untuk Allah ta’ala semata.

lkhlas maknanya adalah keinginanan seseorang dalam melakukan suatu amal ibadah semata untuk menjadikannya sebagai media bertaqarrub kepada Allah. Bukan untuk tujuan lain di luar itu, semisal mencari pujian atau dipuji orang lain. Ikhlas adalah keinginan yang tulus lillahi ta’ala. Dan hati yang seluruh keinginannya bisa dikondisikan seperti ini manakala pemiliknya melakukan amal ibadah adalah hati yang bisa terselamatkan dari belitan jaring-jaring setan.

Allah berfirman yang artinya, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)

Karena riya tak henti-hentinya diletikkan setan ke dalam hati manusia. Mulai dari keinginan ibadah tersebut muncul dan pada saat beramal. Bahkan, saat amal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya ada beberapa cara untuk menjaga keikhlasan tersebut:

Pertama, Menguatkan ubudiyah kepada Allah, dzat yang maha pemurah yang akan membalas kebaikan kita melebihi daya yang kita kerahkan untuk merealisasikan ibadah tersebut. Kedua, memahami hakikat keikhlasan secara mendalam. Pemahaman yang mendalam tentang hakikat keikhlasan akan menggiring seseorang untuk lebih mudah bersikap ikhlas. Ketiga, mengingat-ingat ganjaran antara ikhlas dan riya’  dalam beramal. Dengan senantiasa mengingat-ingat dan membanding-bandingkan keduanya, dimungkinkan keinginan untuk selalu berlaku ikhlas menjadi terus bergelora.

Keempat, bermuraqabah dan bermujahadah. Maksudnya, menghadirkan perasaan bahwa Allah lah yang menyaksikan amal kita dan membalasnya. Kemudian melakukan amalan tesebut semaksimal dan sebaik mungkin. Kelima, memohon petolongan kepada Alah agar selalu konsisten dalam ikhlas. Ini penting, karena lurusnya keinginan manusia adalah karena maunah Allah.  Adapun orang yang mampu ihlas tanpa adanya pertolongan dari Allah adalah omong kosong.

Ketujuh, meninggalkan ujub dan meremehkan orang lain. Kebiasaan seseorang menganggap besar amal kebajikan yang telah dilakukannya dan menganggap kecil amal yang dilakukan orang lain haruslah ditinggalkan. Kebiasaan ini justru hanya akan menyuburkan riya’  di dalam hatinya. Kedelapan, berkawan dengan orang-orang baik. Itu karena sangat mungkin orang-orang balk itu bisa membantu untuk tidak berbuat riya’.

Kesembilan, meneladani orang-orang ikhlas. Keteladanan dari orang-orang ikhlas itu bisa difungsikan sebagai contoh bagaimana seseorang berlaku ikhlas secara semestinya. Dan yang terakhir, menjadikan ikhlas sebagai tujuan. Maksudnya, mencanangkan semacam tekad final bahwa tujuan dalam beribadah memang semata lillahi ta’ala, bukan untuk tujuan lain di luar itu.

Langkah-langkah di atas adalah usaha untuk menghilangkan sang perusak pahala. Di samping juga untuk mempersubur keikhlasan. Sebenarnya, orang harus merasa cemas, karena batas antara dosa dan pahala sangat tipis. Yaitu, niat yang ada dalam hati. Sungguh sayang apabila pahala berbagai amal kebajikan yang telah tabung di dunia, dengan mengorbankan waktu, pikiran, harta benda, bahkan nyawanya, tiba-tiba lenyap begitu saja. Bak butiran debu yang diterbangkan angin riya’. Naudzu billah.

arrisalah.net

Keshalihan Sosial

0 komentar

keshalihan sosial
Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan antara “alladzina aamanuu” dengan “amilus shalihat.” Hal ini mengandung faidah bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.

Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at (kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’ Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.

Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).

Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).

Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.

Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.

Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, “Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya sendiri.”

Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out,  mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis Madjid, 1999 : 186-187)

Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10   “Katakanlah (Muhammad), “wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.”

Drs H Hamzah Ya’kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain : manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan, ‘Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).

Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.

Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan sosial kita (social intellegience).

Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudara-saudara kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai memberikan ultimatum: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang lain, maka dia bukan dari golongan mereka.”

www.republika.co.id

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...