Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya.
Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut. Kekuasaan tertinggi ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan bersama. Jika kekuasaan ini diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah berbagai kerusakan. Betapa vitalnya posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan oleh dua golongan : ‘umara (pemimpin) dan ulama.
Negara bertanggung jawab atas kemaslahatan kehidupan rakyatnya, baik dari sisi agama, sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, serta keadilan. Kalau kita mencermati Negara Ideal Madinah maka kita akan tercengang : betapa bertanggungjawabnya Negara atas rakyatnya !!! Sebuah contoh : ketika keuangan Madinah sudah cukup memadahi, Nabi selaku kepala negara menjamin hutang-hutang setiap warganya yang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang.
Rakyat, sebagaimana Negara, juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada Negara selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Diantara penyebab terjadinya berbagai tragedi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib adalah ketidaktaatan dan pembangkangan rakyat. Prahara tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi umat Islam sesudahnya.
Hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang hak-hak warganegara dalam Negara Islam dan hak-hak Negara (khalifah).
Hak-hak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas Hak-hak Politik dan Hak-hak Umum.
1. Hak-hak Politik Warganegara
1.1. Hak Memilih (Haqq al-Intikhab)
1.2. Hak untuk Diajak Bermusyawarah (Haqq al-Musyawarat)
Bagaimana jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawabnya adalah ya, dengan beberapa alasan berikut :
Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut. Kekuasaan tertinggi ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan bersama. Jika kekuasaan ini diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah berbagai kerusakan. Betapa vitalnya posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan oleh dua golongan : ‘umara (pemimpin) dan ulama.
Negara bertanggung jawab atas kemaslahatan kehidupan rakyatnya, baik dari sisi agama, sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, serta keadilan. Kalau kita mencermati Negara Ideal Madinah maka kita akan tercengang : betapa bertanggungjawabnya Negara atas rakyatnya !!! Sebuah contoh : ketika keuangan Madinah sudah cukup memadahi, Nabi selaku kepala negara menjamin hutang-hutang setiap warganya yang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang.
Rakyat, sebagaimana Negara, juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada Negara selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Diantara penyebab terjadinya berbagai tragedi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib adalah ketidaktaatan dan pembangkangan rakyat. Prahara tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi umat Islam sesudahnya.
Hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang hak-hak warganegara dalam Negara Islam dan hak-hak Negara (khalifah).
Hak-hak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas Hak-hak Politik dan Hak-hak Umum.
1. Hak-hak Politik Warganegara
1.1. Hak Memilih (Haqq al-Intikhab)
1.2. Hak untuk Diajak Bermusyawarah (Haqq al-Musyawarat)
Bagaimana jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawabnya adalah ya, dengan beberapa alasan berikut :
Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara sengaja atau tidak mungkin saja menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Apabila kebijakan sudah ditetapkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk menghalau kerugian yang ditimbulkan (karena sudah terlanjur).
Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat merupakan perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat). Diantara pengikat-pengikatnya adalah kewajiban kepala negara untuk bermusyawarah dengan rakyat. Hal ini telah dinashkan dengan jelas dalam Al-Qur’an : “... Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ...” (QS. Alu Imran: 159)
Musyawarah merupakan sunnah Nabi saw. Meskipun Rasulullah merupakan seorang Nabi yang menerima wahyu dari langit, namun beliau sangat gemar bermusyawarah dengan para sahabat. Para ulama mengatakan bahwa yang demikian itu adalah agar menjadi teladan bagi umatnya sepeninggal beliau.
Nabi telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badar dan dalam memutuskan untuk keluar kota atau tidak dalam Perang Uhud. Disamping itu, masih sangat banyak contoh-contoh tentang kebiasaan Nabi untuk bermusyawarah.
Para ulama mengatakan bahwa jika kepala negara tidak mau bermusyawarah dengan ahlul ‘ilmi wad din, maka menurunkannya adalah wajib. [Tafsir Qurthubiy Juz 4 hal. 249]
Musyawarah dengan rakyat dilaksanakan menyangkut beragam urusan dunia dan urusan-urusan agama yang bersifat ijtihadiy. Dalam urusan-urusan dunia, yang harus dimusyawarahkan adalah hal-hal yang penting saja. Tidaklah setiap masalah harus dimusyawarahkan, apalagi jika itu hanya masalah-masalah kecil dan kurang penting.
Dengan Siapakah Kepala Negara Harus Bermusyawarah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita menengok sunnah Nabi.
Rasulullah bermusyawarah dengan jumhur kaum muslimin dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan rakyat. Contohnya adalah ketika harus memutuskan apakah kaum muslimin akan bertahan didalam kota atau keluar kota dalam Perang Uhud.
Dalam suatu urusan yang tidak melibatkan seluruh rakyat, Rasulullah bermusyawarah dengan orang-orang yang berkepentingan dengan urusan tersebut saja. Contohnya adalah musyawarah mengenai ghanimah Hawazin.
Adakalanya Rasulullah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka kaum. Contohnya adalah dalam masalah Ghathafan.
Adakalanya Rasulullah juga bermusyawarah dengan orang-orang tertentu. Contoh untuk ini sungguh amat banyak.
Dari teladan nabi diatas, kita bisa menyimpulkan :
Dengan siapa kepala negara bermusyawarah, amatlah bergantung pada jenis masalah yang hendak dimusyawarahkan.
Dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan seluruh rakyat, sedapat mungkin kepala negara harus bermusyawarah dengan seluruh rakyat. Dalam hal ini kepala negara juga bisa bermusyawarah dengan ahlul hall wal ‘aqd yang merupakan representasi rakyat.
Adapun dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian maka hendaknya kepala negara bermusyawarah dengan para ahli.
Majlis Syura
Dalam pengertian istilahiy, Majlis Syura ialah suatu majelis (lembaga) yang bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan (advis) kepada kepala negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga ini hanya bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan, sedangkan pengambilan keputusan tetap berada di tangan kepala negara. Meskipun begitu, para ulama memiliki banyak pendapat tentang kondisi dimana kepala negara berbeda pendapat dengan Majlis Syura. Semua ulama sepakat bahwa dalam kasus ini kita harus merujuk pada QS. Al-Nisa’: 59, “... Apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya apabila kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir ...”. Apabila dengan merujuk pada Allah (Kitabullah) dan Rasul (Al-Sunnah), masalah masih belum bisa diselesaikan, maka terdapat tiga kemungkinan solusi :
· Solusi pertama : Metode Tahkim
Maksudnya, panitia khusus dibentuk, beranggotakan para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus inilah yang akan menengahi perbedaan antara kepala negara dan Majlis Syura.
· Solusi kedua : Mengambil Pendapat Terbanyak (Voting)
· Solusi ketiga : Mengambil Keputusan Kepala Negara secara mutlak.
Alasannya ialah karena kepala negaralah yang paling bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Dari pembahasan tentang Majlis Syura, kita bisa membedakan dengan jelas antara lembaga ini dan ahlul hall wal ‘aqd :
Majlis Syura bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala negara, sedangkan ahlul hall wal ‘aqd bertugas untuk mengangkat atau menurunkan kepala negara.
Majlis Syura tidak pernah lebih tinggi dari kepala negara. Majlis Syura bisa saja diangkat oleh kepala negara. Sebaliknya, ahlul hall wal ‘aqd, pada saat menunaikan tugasnya (mengangkat dan menurunkan khalifah) lebih tinggi daripada kepala negara.
Ahlul hall wal ‘aqd diangkat oleh rakyat sebagai representasi mereka. Majlis Syura tidak harus diangkat oleh rakyat.
1.3. Hak Mengawasi / Mengontrol (Haqq al-Muraqabat)
Karena khilafah menyerupai wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa. Bahkan, pada dasarnya pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa bukan saja hak akan tetapi kewajiban. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,”Agama itu nasihat”. Para sahabat pun bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?”Maka beliau menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat pada umumnya”.
Pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dengan adab-adab tertentu. Diantara adab-adabnya ialah :
Harus dimulai dengan cara yang lemah lembut. Ingatlah bagaimana Musa diperintahkan untuk datang memperingatkan Fir’aun dengan lemah lembut (layyin), padahal Fir’aun sudah amat melampaui batas. Apabila cara yang lemah lembut tidak bermanfaat maka hendaknya diambil cara-cara yang lebih tegas. Demikian seterusnya, sampai kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan.
Nahi munkar tidak boleh menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.
Seorang penguasa harus bersedia untuk dinasihati. Akan lebih baik lagi apabila dialah yang terlebih dulu minta nasihat, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para khulafa’ rasyidun.
1.4. Hak Menurunkan Khalifah (apabila keadaan mengharuskan) (Haqq al-‘Azl)
Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-sebab syar’i yang mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah melalui kekuasaan ahlul hall wal ‘aqd. Namun apabila ahlul hall wal ‘aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak mengindahkan ahlul hall wal ‘aqd, maka rakyat bisa langsung turun tangan dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah. Kekuatan ini harus dipastikan mampu menurunkan khalifah. Jika tidak, maka penggunaan kekuatan tidak diperbolehkan karena hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Abu Hanifah pernah dua kali ditawari untuk berpartisipasi dalam pemberontakan terhadap khilafah Umawiyah yang lalim. Pada kali pertama beliau menolak karena kekuatan rakyat saat itu belum memadahi. Namun pada kali kedua beliau menerima karena kekuatan rakyat sudah memadahi, sehingga tumbanglah Umawiyah digantikan oleh Abbasiyyah.
1.5. Hak untuk Mencalonkan (Haqq al-Tarsyih)
Seorang warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya. Allah telah mencontohkan fenomena ini dalam kasus Yusuf as.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencalonan diri ialah bahwa yang bersangkutan tidak boleh mencela sesamanya tanpa alasan yang benar (secra syar’i) demi meraih jabatannya. Ia hanya boleh menunjukkan visi, misi, dan pemikiran-pemikirannya, dan tidak lebih dari itu. Politik Islam adalah politik yang penuh etika. Berpolitik, dalam Islam, senantiasa dibingkai oleh kerangka akhlaq yang mulia.
1.6. Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan Umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-‘Ammat)
Sebetulnya, memangku jabatan politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (karena ambisi). [Taisir al-Wushul Juz I hal. 18]
Apabila menuntut jabatan politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah seharusnya? Jawabnya, hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari orang-orang yang terbaik (al-ashlah). Nabi bersabda,”Barangsiapa memegang satu urusan kaum muslimin (maksudnya menjadi penguasa) kemudian ia mengangkat seseorang menjadi pejabat padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih baik bagi (kemaslahatan) kaum muslimin, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”. [Al-Siyasat al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah, hal. 4]
Nabi juga bersabda,”Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah Saat Kehancuran (al-sa’at)”. Rasulullah ditanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakannya?” Rasulullah menjawab,”Yakni apabila suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya”.
Di zaman ini, penguasa bisa menetapkan persyaratan-persyaratan dalam rekrutmen para pejabat. Persyaratan-persyaratan inilah yang diharapkan akan bisa mengantisipasi jatuhnya jabatan-jabatan pada orang-orang yang tidak berhak.
Hak-hak Umum Warganegara
2.1. Hak Persamaan (Al-Musawat)
Allah Ta’ala berfirman,”Wahai manusia! Sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Aku menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan bersuku-suku adalah agar kalian saling mengenal (al-ta’aruf). Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa”.
Allah juga berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabkan kalian tidak bersikap adil kepada mereka. Bersikaplah adil karena itu lebih dekat kepada taqwa” (QS Al-Ma-idah: 8).
Ketika ‘Amr ibn ‘Ash menjadi wali (gubernur) Mesir di masa Umar ibn Khaththab, ia sempat menyakiti seorang warganya karena telah berani mendahuluinya. Akhirnya, warga Mesir tadi mengadu kepada Khalifah Umar. Umar pun menetapkan hukuman balas atas Amr, seraya berkata,”Wahai Amr, sejak kapan engkau memperbudak manusia padahal sungguh-sungguh ibunya telah melahirkannya dalam keadaan merdeka?”
Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy :
“Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan wajahmu, dan dalam pengadilan-pengadilanmu, sehingga orang yang berkedudukan tidak menjadi berharap atas keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu”.
2.2. Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)
2.2.1. Kebebasan Individu (Al-Hurriyyat Al-Syakhshiyyat)
Dalam Islam terdapat prinsip Bara’at Al-Dzimmat, yakni suatu ketetapan bahwa setiap individu pada asalnya adalah bebas (dari segala beban dan tuntutan). Berangkat dari sini, setiap warganegara adalah terbebas dari segala bentuk hukuman selama belum ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Termasuk dalam kebebasan individu adalah kebebasan untuk hidup terhormat. Islam amat menjunjung tinggi kehormatan setiap orang. Pencemaran nama baik diancam dengan hukuman qadzf (hadd al-qadzf). Islam tidak hanya menjaga kehormatan kaum muslim. Dalam islam, Ahli Dzimmah dijaga kehormatannya sebagaimana kaum muslim. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa menyakiti seorang Dzimmi maka aku (Rasulullah) adalah musuhnya. Dan barangsiapa yang menjadikan aku sebagai musuhnya, maka aku akan memusuhinya pada Hari Kiamat”[Al-Jami’ Al-Shaghir oleh Imam Suyuthi, juz II hal. 473]. Ali ibn Abi Thalib berkata,”Ahli Dzimmah mengeluarkan jizyah hanyalah agar harta mereka seperti harta kita (muslim) dan darah mereka seperti darah kita (dalam hal kehormatannya)”.
2.2.2. Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah.
Allah Ta’ala berfirman,”Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas antara petunjuk dan kesesatan” (QS Al-Baqarah: 256). Sebagaimana telah dijelaskan didepan, manusia bebas memilih agamanya (aqidahnya). Kebebasan memilih inilah yang justru menjadi hal yang tidak boleh hilang. Jika ini hilang, maka manusia tidak lagi berbeda dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati lainnya.
Apabila ada yang bertanya,”Kalau memang Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa Islam menghukum mati orang yang murtad (keluar dari Islam)?” Jawabnya, masalah hukuman bagi seorang murtad sama sekali tidak rancu dengan jaminan Islam atas kebebasan beragama. Apabila seseorang melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri, maka sudah sewajarnya dia harus rela menerima segenap akibat dari apa yang dilakukannya itu. Tatkala seseorang hendak masuk Islam, dia telah mengetahui bahwa apabila dia masuk kemudian murtad maka dia akan dihukum mati. Hal ini sudah dia ketahui sebelum dia masuk Islam. Jadi, dia tahu bahwa hukuman atas kemurtadan merupakan bagian dari Islam. Apabila dia masuk Islam setelah itu, maka berarti dia telah rela atas segala konsekuensi tindakannya itu. Bagi orang yang tidak rela dengan konsekuensi masuk Islam (diantaranya hukuman atas kemurtadan), maka janganlah ia masuk Islam. Jadi, sangatlah jelas bahwa Islam tidak pernah mengebiri kebebasan beragama.
2.2.3. Kebebasan Bertempat Tinggal
Setiap warganegara dalam negara Islam bebas bertempat tinggal dan menjadikan tempat tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya. Allah Ta’ala berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sehingga kalian minta ijin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian menjadi ingat. Apabila kalian tidak mendapatkan satu orang pun didalam rumah itu, maka janganlah kalian memasukinya sampai kalian diijinkan. Dan apabila dikatakan kepada kalian,’Kembalilah!’ maka kembalilah kalian. Yang demikian itu lebih suci bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala yang kalian perbuat”(QS. Al-Nur: 27-28).
2.2.4. Kebebasan Bekerja
2.2.5. Kebebasan Pemilikan
2.2.6. Kebebasan Berpikir dan Berpendapat
Setiap warganegara berhak untuk berpendapat (mengeluarkan pikiran) dalam rangka mencapai kemaslahatan. Bahkan, berpendapat dalam rangka amar makruf nahi munkar bukan lagi hak, akan tetapi sudah menjadi kewajiban.
Namun perlu diketahui bahwa kebebasan berpendapat tidaklah bersifat mutlak tanpa batasan. Kebebasan ini tetap mempunyai batasan-batasan, antara lain:
Didasarkan atas itikad yang baik dan niat yang tulus.
Tidak boleh ditujukan untuk menjatuhkan pihak lain, membuka aib-aib orang lain, memprovokasi dan mengadu domba, atau sekedar untuk mencari popularitas.
Tidak bertentangan dengan asas-asas ajaran Islam.
Hendaknya disampaikan dengan akhlaq (etika)yang baik.
2.3. Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Apabila mendapatkan pengajaran merupakan hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-instrumen bagi pencerdasan rakyatnya. Aspek pendidikan dan pengajaran ini merupakan aspek yang amat penting, mengingat akal pikiran merupakan ciri khas kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Untuk itu tidak selayaknya Negara mengabaikan aspek pendidikan seraya mengejar keglamoran aspek-aspek material.
Perhatian yang besar dari Negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita lihat dalam Sirah Nabawiyah. Suatu ketika Nabi, selaku kepala negara, mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan Badar adalah empat puluh auqiyat. Barangsiapa tidak mampu dengan tebusan seperti itu, maka tebusannya adalah dengan mengajarkan tulis-menulis kepada sepuluh orang muslim.
Jadi, masalah pendidikan bukanlah semata-mata masalah individu, tetapi ia merupakan tanggung jawab Negara.
2.4. Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalat) dari Negara
Tidaklah mungkin seorang warganegara dalam Negara Islam hidup terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara mengetahuinya. Jadi, Negara Islam bertanggung jawab atas kesejahteraan warganegaranya.
Islam mencela sikap meminta-minta. Oleh karena itu, agar orang yang tidak mampu tidak terjerumus menjadi peminta-minta, maka Negara Islam harus menciptakan iklim yang baik bagi tersedianya lapangan kerja secara memadahi. Dengan demikian, setiap warganegara tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Jangan sampai ada warganegar yang ingin bekerja secara halal namun tidak ada lapangan kerja yang bisa dia geluti.
Apabila ada seorang warga yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, maka Negara wajib membantunya, misalnya dengan memberikan pinjaman modal yang diambilkan dari Baitul Mal. Abu Yusuf pernah mengatakan,”Apabila ada pemilik tanah yang kesulitan mengelola tanahnya karena miskin maka negara wajib memberikan pinjaman kepada orang tersebut dari Baitul Mal, sehingga dia sanggup bekerja mengelola tanahnya itu”.
Apabila ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib bagi ‘a-ilat (keluarga dekat penerima waris) –nya untuk membantunya. Apabila yang demikian masih belum mencukupi maka Negara wajib menanggungnya. Negara wajib memberikan pekerjaan yang halal dan layak kepadanya.
Negara Islam wajib mengelola zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim yang telah wajib membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya dengan harta Baitul Mal.[Al-Siyasat Al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah]
Terhadap orang-orang yang sudah tidak lagi mampu bekerja, misalnya karena jompo atau cacat, maka Negara wajib menanggungnya (memberikan tunjangan).
Kewajiban Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat tidak hanya berlaku pada kaum muslim, namun juga berlaku bagi kaum dzimmiy. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa terhadap kaum dzimmiy yang tidak mampu, Negara Islam membebaskan kewajiban membayar jizyah dari pundak mereka, bahkan Negara memberikan tunjangan kepada mereka dari harta Baitul Mal.
Apabila Negara tidak mampu menanggung orang-orang yang tidak mampu karena keterbatasan ekonomi Negara, maka kewajiban tersebut berpindah kepada setiap orang mampu yang ada di pelosok negeri. Apabila orang-orang yang mampu berkeberatan untuk bersedekah membantu orang-orang yang tidak mampu, maka Negara wajib memaksa mereka sehingga mau bersedekah.
Hak-hak Negara (Khalifah)
3.1. Hak untuk Ditaati (Al-Sam’ wa Al-Tha’at) dalam Keadaan Susah ataupun Senang, Selama Tidak Bermaksiat kepada Allah.
3.2. Hak untuk Didukung dalam Berjihad Fi Sabilillah.
http://menaraislam.com/
Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat merupakan perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat). Diantara pengikat-pengikatnya adalah kewajiban kepala negara untuk bermusyawarah dengan rakyat. Hal ini telah dinashkan dengan jelas dalam Al-Qur’an : “... Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ...” (QS. Alu Imran: 159)
Musyawarah merupakan sunnah Nabi saw. Meskipun Rasulullah merupakan seorang Nabi yang menerima wahyu dari langit, namun beliau sangat gemar bermusyawarah dengan para sahabat. Para ulama mengatakan bahwa yang demikian itu adalah agar menjadi teladan bagi umatnya sepeninggal beliau.
Nabi telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badar dan dalam memutuskan untuk keluar kota atau tidak dalam Perang Uhud. Disamping itu, masih sangat banyak contoh-contoh tentang kebiasaan Nabi untuk bermusyawarah.
Para ulama mengatakan bahwa jika kepala negara tidak mau bermusyawarah dengan ahlul ‘ilmi wad din, maka menurunkannya adalah wajib. [Tafsir Qurthubiy Juz 4 hal. 249]
Musyawarah dengan rakyat dilaksanakan menyangkut beragam urusan dunia dan urusan-urusan agama yang bersifat ijtihadiy. Dalam urusan-urusan dunia, yang harus dimusyawarahkan adalah hal-hal yang penting saja. Tidaklah setiap masalah harus dimusyawarahkan, apalagi jika itu hanya masalah-masalah kecil dan kurang penting.
Dengan Siapakah Kepala Negara Harus Bermusyawarah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita menengok sunnah Nabi.
Rasulullah bermusyawarah dengan jumhur kaum muslimin dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan rakyat. Contohnya adalah ketika harus memutuskan apakah kaum muslimin akan bertahan didalam kota atau keluar kota dalam Perang Uhud.
Dalam suatu urusan yang tidak melibatkan seluruh rakyat, Rasulullah bermusyawarah dengan orang-orang yang berkepentingan dengan urusan tersebut saja. Contohnya adalah musyawarah mengenai ghanimah Hawazin.
Adakalanya Rasulullah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka kaum. Contohnya adalah dalam masalah Ghathafan.
Adakalanya Rasulullah juga bermusyawarah dengan orang-orang tertentu. Contoh untuk ini sungguh amat banyak.
Dari teladan nabi diatas, kita bisa menyimpulkan :
Dengan siapa kepala negara bermusyawarah, amatlah bergantung pada jenis masalah yang hendak dimusyawarahkan.
Dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan seluruh rakyat, sedapat mungkin kepala negara harus bermusyawarah dengan seluruh rakyat. Dalam hal ini kepala negara juga bisa bermusyawarah dengan ahlul hall wal ‘aqd yang merupakan representasi rakyat.
Adapun dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian maka hendaknya kepala negara bermusyawarah dengan para ahli.
Majlis Syura
Dalam pengertian istilahiy, Majlis Syura ialah suatu majelis (lembaga) yang bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan (advis) kepada kepala negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga ini hanya bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan, sedangkan pengambilan keputusan tetap berada di tangan kepala negara. Meskipun begitu, para ulama memiliki banyak pendapat tentang kondisi dimana kepala negara berbeda pendapat dengan Majlis Syura. Semua ulama sepakat bahwa dalam kasus ini kita harus merujuk pada QS. Al-Nisa’: 59, “... Apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya apabila kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir ...”. Apabila dengan merujuk pada Allah (Kitabullah) dan Rasul (Al-Sunnah), masalah masih belum bisa diselesaikan, maka terdapat tiga kemungkinan solusi :
· Solusi pertama : Metode Tahkim
Maksudnya, panitia khusus dibentuk, beranggotakan para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus inilah yang akan menengahi perbedaan antara kepala negara dan Majlis Syura.
· Solusi kedua : Mengambil Pendapat Terbanyak (Voting)
· Solusi ketiga : Mengambil Keputusan Kepala Negara secara mutlak.
Alasannya ialah karena kepala negaralah yang paling bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Dari pembahasan tentang Majlis Syura, kita bisa membedakan dengan jelas antara lembaga ini dan ahlul hall wal ‘aqd :
Majlis Syura bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala negara, sedangkan ahlul hall wal ‘aqd bertugas untuk mengangkat atau menurunkan kepala negara.
Majlis Syura tidak pernah lebih tinggi dari kepala negara. Majlis Syura bisa saja diangkat oleh kepala negara. Sebaliknya, ahlul hall wal ‘aqd, pada saat menunaikan tugasnya (mengangkat dan menurunkan khalifah) lebih tinggi daripada kepala negara.
Ahlul hall wal ‘aqd diangkat oleh rakyat sebagai representasi mereka. Majlis Syura tidak harus diangkat oleh rakyat.
1.3. Hak Mengawasi / Mengontrol (Haqq al-Muraqabat)
Karena khilafah menyerupai wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa. Bahkan, pada dasarnya pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa bukan saja hak akan tetapi kewajiban. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,”Agama itu nasihat”. Para sahabat pun bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?”Maka beliau menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat pada umumnya”.
Pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dengan adab-adab tertentu. Diantara adab-adabnya ialah :
Harus dimulai dengan cara yang lemah lembut. Ingatlah bagaimana Musa diperintahkan untuk datang memperingatkan Fir’aun dengan lemah lembut (layyin), padahal Fir’aun sudah amat melampaui batas. Apabila cara yang lemah lembut tidak bermanfaat maka hendaknya diambil cara-cara yang lebih tegas. Demikian seterusnya, sampai kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan.
Nahi munkar tidak boleh menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.
Seorang penguasa harus bersedia untuk dinasihati. Akan lebih baik lagi apabila dialah yang terlebih dulu minta nasihat, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para khulafa’ rasyidun.
1.4. Hak Menurunkan Khalifah (apabila keadaan mengharuskan) (Haqq al-‘Azl)
Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-sebab syar’i yang mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah melalui kekuasaan ahlul hall wal ‘aqd. Namun apabila ahlul hall wal ‘aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak mengindahkan ahlul hall wal ‘aqd, maka rakyat bisa langsung turun tangan dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah. Kekuatan ini harus dipastikan mampu menurunkan khalifah. Jika tidak, maka penggunaan kekuatan tidak diperbolehkan karena hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Abu Hanifah pernah dua kali ditawari untuk berpartisipasi dalam pemberontakan terhadap khilafah Umawiyah yang lalim. Pada kali pertama beliau menolak karena kekuatan rakyat saat itu belum memadahi. Namun pada kali kedua beliau menerima karena kekuatan rakyat sudah memadahi, sehingga tumbanglah Umawiyah digantikan oleh Abbasiyyah.
1.5. Hak untuk Mencalonkan (Haqq al-Tarsyih)
Seorang warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya. Allah telah mencontohkan fenomena ini dalam kasus Yusuf as.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencalonan diri ialah bahwa yang bersangkutan tidak boleh mencela sesamanya tanpa alasan yang benar (secra syar’i) demi meraih jabatannya. Ia hanya boleh menunjukkan visi, misi, dan pemikiran-pemikirannya, dan tidak lebih dari itu. Politik Islam adalah politik yang penuh etika. Berpolitik, dalam Islam, senantiasa dibingkai oleh kerangka akhlaq yang mulia.
1.6. Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan Umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-‘Ammat)
Sebetulnya, memangku jabatan politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (karena ambisi). [Taisir al-Wushul Juz I hal. 18]
Apabila menuntut jabatan politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah seharusnya? Jawabnya, hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari orang-orang yang terbaik (al-ashlah). Nabi bersabda,”Barangsiapa memegang satu urusan kaum muslimin (maksudnya menjadi penguasa) kemudian ia mengangkat seseorang menjadi pejabat padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih baik bagi (kemaslahatan) kaum muslimin, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”. [Al-Siyasat al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah, hal. 4]
Nabi juga bersabda,”Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah Saat Kehancuran (al-sa’at)”. Rasulullah ditanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakannya?” Rasulullah menjawab,”Yakni apabila suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya”.
Di zaman ini, penguasa bisa menetapkan persyaratan-persyaratan dalam rekrutmen para pejabat. Persyaratan-persyaratan inilah yang diharapkan akan bisa mengantisipasi jatuhnya jabatan-jabatan pada orang-orang yang tidak berhak.
Hak-hak Umum Warganegara
2.1. Hak Persamaan (Al-Musawat)
Allah Ta’ala berfirman,”Wahai manusia! Sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Aku menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan bersuku-suku adalah agar kalian saling mengenal (al-ta’aruf). Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa”.
Allah juga berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabkan kalian tidak bersikap adil kepada mereka. Bersikaplah adil karena itu lebih dekat kepada taqwa” (QS Al-Ma-idah: 8).
Ketika ‘Amr ibn ‘Ash menjadi wali (gubernur) Mesir di masa Umar ibn Khaththab, ia sempat menyakiti seorang warganya karena telah berani mendahuluinya. Akhirnya, warga Mesir tadi mengadu kepada Khalifah Umar. Umar pun menetapkan hukuman balas atas Amr, seraya berkata,”Wahai Amr, sejak kapan engkau memperbudak manusia padahal sungguh-sungguh ibunya telah melahirkannya dalam keadaan merdeka?”
Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy :
“Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan wajahmu, dan dalam pengadilan-pengadilanmu, sehingga orang yang berkedudukan tidak menjadi berharap atas keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu”.
2.2. Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)
2.2.1. Kebebasan Individu (Al-Hurriyyat Al-Syakhshiyyat)
Dalam Islam terdapat prinsip Bara’at Al-Dzimmat, yakni suatu ketetapan bahwa setiap individu pada asalnya adalah bebas (dari segala beban dan tuntutan). Berangkat dari sini, setiap warganegara adalah terbebas dari segala bentuk hukuman selama belum ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Termasuk dalam kebebasan individu adalah kebebasan untuk hidup terhormat. Islam amat menjunjung tinggi kehormatan setiap orang. Pencemaran nama baik diancam dengan hukuman qadzf (hadd al-qadzf). Islam tidak hanya menjaga kehormatan kaum muslim. Dalam islam, Ahli Dzimmah dijaga kehormatannya sebagaimana kaum muslim. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa menyakiti seorang Dzimmi maka aku (Rasulullah) adalah musuhnya. Dan barangsiapa yang menjadikan aku sebagai musuhnya, maka aku akan memusuhinya pada Hari Kiamat”[Al-Jami’ Al-Shaghir oleh Imam Suyuthi, juz II hal. 473]. Ali ibn Abi Thalib berkata,”Ahli Dzimmah mengeluarkan jizyah hanyalah agar harta mereka seperti harta kita (muslim) dan darah mereka seperti darah kita (dalam hal kehormatannya)”.
2.2.2. Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah.
Allah Ta’ala berfirman,”Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas antara petunjuk dan kesesatan” (QS Al-Baqarah: 256). Sebagaimana telah dijelaskan didepan, manusia bebas memilih agamanya (aqidahnya). Kebebasan memilih inilah yang justru menjadi hal yang tidak boleh hilang. Jika ini hilang, maka manusia tidak lagi berbeda dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati lainnya.
Apabila ada yang bertanya,”Kalau memang Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa Islam menghukum mati orang yang murtad (keluar dari Islam)?” Jawabnya, masalah hukuman bagi seorang murtad sama sekali tidak rancu dengan jaminan Islam atas kebebasan beragama. Apabila seseorang melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri, maka sudah sewajarnya dia harus rela menerima segenap akibat dari apa yang dilakukannya itu. Tatkala seseorang hendak masuk Islam, dia telah mengetahui bahwa apabila dia masuk kemudian murtad maka dia akan dihukum mati. Hal ini sudah dia ketahui sebelum dia masuk Islam. Jadi, dia tahu bahwa hukuman atas kemurtadan merupakan bagian dari Islam. Apabila dia masuk Islam setelah itu, maka berarti dia telah rela atas segala konsekuensi tindakannya itu. Bagi orang yang tidak rela dengan konsekuensi masuk Islam (diantaranya hukuman atas kemurtadan), maka janganlah ia masuk Islam. Jadi, sangatlah jelas bahwa Islam tidak pernah mengebiri kebebasan beragama.
2.2.3. Kebebasan Bertempat Tinggal
Setiap warganegara dalam negara Islam bebas bertempat tinggal dan menjadikan tempat tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya. Allah Ta’ala berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sehingga kalian minta ijin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian menjadi ingat. Apabila kalian tidak mendapatkan satu orang pun didalam rumah itu, maka janganlah kalian memasukinya sampai kalian diijinkan. Dan apabila dikatakan kepada kalian,’Kembalilah!’ maka kembalilah kalian. Yang demikian itu lebih suci bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala yang kalian perbuat”(QS. Al-Nur: 27-28).
2.2.4. Kebebasan Bekerja
2.2.5. Kebebasan Pemilikan
2.2.6. Kebebasan Berpikir dan Berpendapat
Setiap warganegara berhak untuk berpendapat (mengeluarkan pikiran) dalam rangka mencapai kemaslahatan. Bahkan, berpendapat dalam rangka amar makruf nahi munkar bukan lagi hak, akan tetapi sudah menjadi kewajiban.
Namun perlu diketahui bahwa kebebasan berpendapat tidaklah bersifat mutlak tanpa batasan. Kebebasan ini tetap mempunyai batasan-batasan, antara lain:
Didasarkan atas itikad yang baik dan niat yang tulus.
Tidak boleh ditujukan untuk menjatuhkan pihak lain, membuka aib-aib orang lain, memprovokasi dan mengadu domba, atau sekedar untuk mencari popularitas.
Tidak bertentangan dengan asas-asas ajaran Islam.
Hendaknya disampaikan dengan akhlaq (etika)yang baik.
2.3. Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Apabila mendapatkan pengajaran merupakan hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-instrumen bagi pencerdasan rakyatnya. Aspek pendidikan dan pengajaran ini merupakan aspek yang amat penting, mengingat akal pikiran merupakan ciri khas kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Untuk itu tidak selayaknya Negara mengabaikan aspek pendidikan seraya mengejar keglamoran aspek-aspek material.
Perhatian yang besar dari Negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita lihat dalam Sirah Nabawiyah. Suatu ketika Nabi, selaku kepala negara, mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan Badar adalah empat puluh auqiyat. Barangsiapa tidak mampu dengan tebusan seperti itu, maka tebusannya adalah dengan mengajarkan tulis-menulis kepada sepuluh orang muslim.
Jadi, masalah pendidikan bukanlah semata-mata masalah individu, tetapi ia merupakan tanggung jawab Negara.
2.4. Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalat) dari Negara
Tidaklah mungkin seorang warganegara dalam Negara Islam hidup terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara mengetahuinya. Jadi, Negara Islam bertanggung jawab atas kesejahteraan warganegaranya.
Islam mencela sikap meminta-minta. Oleh karena itu, agar orang yang tidak mampu tidak terjerumus menjadi peminta-minta, maka Negara Islam harus menciptakan iklim yang baik bagi tersedianya lapangan kerja secara memadahi. Dengan demikian, setiap warganegara tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Jangan sampai ada warganegar yang ingin bekerja secara halal namun tidak ada lapangan kerja yang bisa dia geluti.
Apabila ada seorang warga yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, maka Negara wajib membantunya, misalnya dengan memberikan pinjaman modal yang diambilkan dari Baitul Mal. Abu Yusuf pernah mengatakan,”Apabila ada pemilik tanah yang kesulitan mengelola tanahnya karena miskin maka negara wajib memberikan pinjaman kepada orang tersebut dari Baitul Mal, sehingga dia sanggup bekerja mengelola tanahnya itu”.
Apabila ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib bagi ‘a-ilat (keluarga dekat penerima waris) –nya untuk membantunya. Apabila yang demikian masih belum mencukupi maka Negara wajib menanggungnya. Negara wajib memberikan pekerjaan yang halal dan layak kepadanya.
Negara Islam wajib mengelola zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim yang telah wajib membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya dengan harta Baitul Mal.[Al-Siyasat Al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah]
Terhadap orang-orang yang sudah tidak lagi mampu bekerja, misalnya karena jompo atau cacat, maka Negara wajib menanggungnya (memberikan tunjangan).
Kewajiban Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat tidak hanya berlaku pada kaum muslim, namun juga berlaku bagi kaum dzimmiy. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa terhadap kaum dzimmiy yang tidak mampu, Negara Islam membebaskan kewajiban membayar jizyah dari pundak mereka, bahkan Negara memberikan tunjangan kepada mereka dari harta Baitul Mal.
Apabila Negara tidak mampu menanggung orang-orang yang tidak mampu karena keterbatasan ekonomi Negara, maka kewajiban tersebut berpindah kepada setiap orang mampu yang ada di pelosok negeri. Apabila orang-orang yang mampu berkeberatan untuk bersedekah membantu orang-orang yang tidak mampu, maka Negara wajib memaksa mereka sehingga mau bersedekah.
Hak-hak Negara (Khalifah)
3.1. Hak untuk Ditaati (Al-Sam’ wa Al-Tha’at) dalam Keadaan Susah ataupun Senang, Selama Tidak Bermaksiat kepada Allah.
3.2. Hak untuk Didukung dalam Berjihad Fi Sabilillah.
http://menaraislam.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Berikanlah komentar Sobat, karena komentar Sobat sangat berarti bagi kami (^_^)