Ketika Umar bin Khatab ra khawatir terhadap pemimpin Bani Tamim, Ahnaf bin Qais ra- karena Ahnaf sangat pandai berbicara, diplomatis, dan mengagumkan-Umar menyuruhnya menetap di Madinah selama setahun untuk mengawasinya.
Kemudian, Umar berkata kepadanya, "Hai Ahnaf, aku telah mengujimu dan aku tidak melihat pada dirimu selain kebaikan. Aku melihat sisi luarmu baik, dan aku berharap sisi hatimu seperti sisi luarmu. Sesungguhnya kami berkata: yang merusak umat ini adalah setiap orang munafik yang pandai."
Setelah itu, Umar bin Khattab menulis surat kepada Abu Musa al-Asya'ri, yang menjadi komandan pasukan ke Persia di mana Ahnaf ikut memimpin pasukan itu, "Amma ba'du. Dekatilah Ahnaf bin Qais, ajaklah ia musyawarah dan dengarlah pendapatnya."
Pandai berbicara dan mahir dalam menangkis berbagai pertanyaan memang sebuah anugerah yang patut disyukuri, namun itu bukan jaminan satu-satunya bagi kebaikan, ketulusan, kejujuran, dan integritas seseorang. Kaum munafik yang kerap kali mengharu biru umat ini pandai bicara dan bersilat lidah, dan itulah yang ditakuti Nabi. "Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada ialah orang munafik yang pandai bersilat lidah." (HR Ahmad dan Thabarani).
Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khatab perlu menguji pasukannya yang pandai bicara, Ahnaf bin Qais- seperti tersimbul dalam narasi di atas-apakah ucapannya bisa dipertanggungjawabkan secara nyata, atau perilakunya memang mencerminkan apa yang diucapkan, atau justru jauh panggang dari api.
Bila ditarik ke zaman kita sekarang ini, Khalifah Umar bin Khatab menginginkan para pembantunya, tidak hanya pandai menggelar konferensi pers, lalu menebarkan kata-kata yang manis dan berbunga-bunga, serta tangkas dalam menangkis beragam pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Namun, sesungguhnya bagaimana kata-katanya itu diwujudkan secara nyata di hadapan rakyatnya. Karena, banyak orang yang tampak amat loyal dan sangat patriotik terhadap bangsa ini- sebagaimana tecermin dari kata-katanya-tapi mereka tak lebih dari orang-orang oportunis yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya saja, serta merugikan bangsa pula.
Mereka mengukur tingkat kecerdasan seseorang hanya dengan kepandaiannya berorasi, hebat dalam menjawab pertanyaan, tapi hakikat yang sebenarnya disembunyikan alias berbohong. Mereka juga tidak malu jika kedok kebohongan mereka terbuka. Bahkan, lebih parah lagi, mereka mencoba merasionalisasi sikap mereka bahwa kebohongan untuk kepentingan mereka itu dibolehkan.
Maka, pemuka tabiin Hasan al-Bashri pun berujar, "Ujilah manusia dengan amal mereka dan tinggalkanlah ucapan mereka. Sesungguhnya Allah tidak membiarkan suatu ucapan, kecuali Dia pasti menjadikan bukti untuknya berupa amal yang membenarkannya atau mendustakannya. Apabila kamu mendengar ucapan baik, maka jangan terburu-buru menilai orang yang mengatakannya. Bila amalnya sesuai dengan ucapannya, maka bersaudaralah dengannya dan cintailah dia. Dan, jika ucapannya bertentangan dengan amalnya, maka apa yang membuatmu ragu mengenainya, atau apa yang menghalangimu terhadapnya? Jangan sekali-kali ia mengelabuimu."
Kemudian, Umar berkata kepadanya, "Hai Ahnaf, aku telah mengujimu dan aku tidak melihat pada dirimu selain kebaikan. Aku melihat sisi luarmu baik, dan aku berharap sisi hatimu seperti sisi luarmu. Sesungguhnya kami berkata: yang merusak umat ini adalah setiap orang munafik yang pandai."
Setelah itu, Umar bin Khattab menulis surat kepada Abu Musa al-Asya'ri, yang menjadi komandan pasukan ke Persia di mana Ahnaf ikut memimpin pasukan itu, "Amma ba'du. Dekatilah Ahnaf bin Qais, ajaklah ia musyawarah dan dengarlah pendapatnya."
Pandai berbicara dan mahir dalam menangkis berbagai pertanyaan memang sebuah anugerah yang patut disyukuri, namun itu bukan jaminan satu-satunya bagi kebaikan, ketulusan, kejujuran, dan integritas seseorang. Kaum munafik yang kerap kali mengharu biru umat ini pandai bicara dan bersilat lidah, dan itulah yang ditakuti Nabi. "Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada ialah orang munafik yang pandai bersilat lidah." (HR Ahmad dan Thabarani).
Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khatab perlu menguji pasukannya yang pandai bicara, Ahnaf bin Qais- seperti tersimbul dalam narasi di atas-apakah ucapannya bisa dipertanggungjawabkan secara nyata, atau perilakunya memang mencerminkan apa yang diucapkan, atau justru jauh panggang dari api.
Bila ditarik ke zaman kita sekarang ini, Khalifah Umar bin Khatab menginginkan para pembantunya, tidak hanya pandai menggelar konferensi pers, lalu menebarkan kata-kata yang manis dan berbunga-bunga, serta tangkas dalam menangkis beragam pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Namun, sesungguhnya bagaimana kata-katanya itu diwujudkan secara nyata di hadapan rakyatnya. Karena, banyak orang yang tampak amat loyal dan sangat patriotik terhadap bangsa ini- sebagaimana tecermin dari kata-katanya-tapi mereka tak lebih dari orang-orang oportunis yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya saja, serta merugikan bangsa pula.
Mereka mengukur tingkat kecerdasan seseorang hanya dengan kepandaiannya berorasi, hebat dalam menjawab pertanyaan, tapi hakikat yang sebenarnya disembunyikan alias berbohong. Mereka juga tidak malu jika kedok kebohongan mereka terbuka. Bahkan, lebih parah lagi, mereka mencoba merasionalisasi sikap mereka bahwa kebohongan untuk kepentingan mereka itu dibolehkan.
Maka, pemuka tabiin Hasan al-Bashri pun berujar, "Ujilah manusia dengan amal mereka dan tinggalkanlah ucapan mereka. Sesungguhnya Allah tidak membiarkan suatu ucapan, kecuali Dia pasti menjadikan bukti untuknya berupa amal yang membenarkannya atau mendustakannya. Apabila kamu mendengar ucapan baik, maka jangan terburu-buru menilai orang yang mengatakannya. Bila amalnya sesuai dengan ucapannya, maka bersaudaralah dengannya dan cintailah dia. Dan, jika ucapannya bertentangan dengan amalnya, maka apa yang membuatmu ragu mengenainya, atau apa yang menghalangimu terhadapnya? Jangan sekali-kali ia mengelabuimu."
republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
Berikanlah komentar Sobat, karena komentar Sobat sangat berarti bagi kami (^_^)