Saat ini saya akan sharing sebuah artikel mengenai Menemui Allah SWT, silahkan dibaca sebaik-baiknya.
Bahasan ini sebenarnya telah masuk ranah tasawuf dan hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh ahli tasawuf (sufi) yang mencapai maqam (tingkatan spritual) mahabbah (cinta Allah) dan ma’rifah (mengenal Allah). Dalam kajian Tauhid, selalu ditegaskan bahwa Allah itu esa, tidak beranak dan diperanakkan, tak bergantung pada apa pun jua. Dia adalah Zat Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun dan tidak pula ada yang menyerupainya. (QS.112:1-4,3:97,42:11).
Selain itu, disebutkan pula bahwa Allah bersemayam di atas Arasy yakni tempat yang tinggi dimana manusia tak mampu memikirkannya apalagi menghampirinya (QS.10:3,13:2,20:5,25:5). Meskipun pada sisi lain, bahwa Dia lebih dekat dari pada urat leher kita sendiri, tapi seringkali tak bisa merasakan kehadirannya. (QS.2:186, 50:16). Lalu, bagaimana cara menemui Allah ?
Salah satu jalan untuk menemui Allah SWT adalah mengunjungi Rumah-Nya, Baitullah. Meskipun, boleh jadi Dia tengah tak ada atau tak berkenan untuk membuka pintu Rumah-Nya. Kalau pun bisa menemui-Nya, tentu bersifat personal dan belum tentu berdampak pada relasi sosial (pemberdayaan umat).
Sementara, menemui-Nya saat bersemayam di atas Arasy, tentu jalan yang tak mungkin dilalui oleh manusia biasa. Lalu bagaimana cara menemui-Nya yang dampaknya bukan hanya individual (hablum minallah), tapi juga sosial (hablum minannas) ?
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam buku 40 Hadits Qudsi Pilihan, (Lentera Hati, 2010), dinukil sebuah Hadits Qudsi (Hadits yang redaksinya dari Rasulullah SAW tapi maknanya dari Allah SWT.) dari Abu Hurairah Ra. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah SAW. Bersabda : “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan berfirman pada Hari Kiamat :
Wahai putra putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku ? Ibnu Adam bertanya : ”Yaa Rabb, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya ? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana”.
Wahai putra putri Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan ?”. Ibnu Adam pun bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan ? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku ?”.
Wahai putra putri Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberi-Ku minum ? Lalu Ibnu Adam bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian Alam”?. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa Hamba-Ku si Fulan telah minta minum kepadamu, tetapi mengapa engkau tidak memberinya minum ? Seandainya engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisi-Ku.”
Jika kita simak Hadits di atas, pesan pertama sebagai jalan menemui Allah adalah membesuk orang sakit. Boleh jadi, karena orang sakit sedang berada di persimpangan jalan, yakni antara hidup dan mati. Seorang yang sakit keras atau kritis, sedemikian dekat kepada Allah. Sejatinya, ia berhak atas Muslim yang lain untuk dijenguk dan wajib bagi seorang Muslim untuk menjeguknya (HR. Muslim).
Mengunjungi orang sakit tidak sekedar lepasnya kewajiban, tapi justru dapat mengeratkan persaudaraan dan keharmonisan sosial. Hubungan yang disharmoni seringkali terbangun kembali setelah mengunjungi yang sakit. Doa yang dipanjatkan dan kegembiraan hatinya bisa mempercepat kesembuhan.
Jika kita ingin menemui Allah, maka kunjungilah orang-orang sakit yang bersandar dan bergantung penuh hanya kepada Allah SWT karena Allah pun senantiasa berada di sisi mereka yang sabar akan derita yang menimpa. Dalam kondisi demikian, mereka seringkali diabaikan dan terlupakan. Kita terkadang kaget dan menyesali, setelah mendapat kabar kematian si sakit sementara belum sempat menjenguknya.
Pesan kedua dan ketiga Hadits di atas adalah memberi makan dan minum. Kaum dhuafa dan mustdh’afin (anak yatim, miskin, terlantar, tertawan, hidup berkalang tanah beratap langit, kekurangan gizi dan kelaparan) yang jumlahnya semakin bertambah adalah hamba-hamba yang dikasihi Allah. Mereka sengaja dihadirkan oleh Allah untuk menguji keimanan dan komitmen sosial kita sekaligus sebagai jalan menemui Allah SWT.
Konon, Nabi Musa As. pernah bertanya kepada Allah, dimana ia bisa menemui-Nya. Allah menjawab : “Temuilah Aku di tengah orang yang hancur hatinya”. Karena itulah, Allah SWT menyuruh kita untuk memberi makan orang yatim, miskin dan yang tertawan hidupnya, bahkan dinilai sebagai pendusta agama jika tidak menyantuni mereka (QS.2:177,90:14-16,93:9-10,107:3).
Justru dengan jalan yang tidak mudah ini, kita bisa menemui Allah dengan rasa bahagia, tenang dan nikmat baik dunia maupun akhirat. Tapi itu semua bisa diraih hanya dengan ikhlas dalam beramal shaleh dan tidak menyekutukan-Nya. (QS.18:110).
Demikianlah Islam mengajarkan ibadah yang sebenarnya, yakni ibadah yang berdimensi individual dan sosial sekaligus. “Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah agar menjadi kaya. Jangan menunggu sukses baru bersyukur tapi bersyukurlah agar bertambah sukses”, demikian orang bijak berkata.
Selagi ada kesempatan dan umur untuk melakukan kebaikan, maka lakukan sekarang. Jangan menunggu kaya atau sukses. Boleh jadi belum sempat kaya atau sukses ajal telah tiba. Menyesal kemudian tiada berguna. (QS.63:10-11). Sedekah yang paling tinggi nilainya adalah pada saat kita juga membutuhkan. Dan, jika mampu melakukannya, luar biasa nikmatnya dan Allah pun segera memberi ganti yang berlipat dan tidak terkira-kira (laa yahtasib). Insya Allah.
http://www.republika.co.id